Cari Blog Ini

Selasa, 31 Mei 2011

Hari Tanpa Tembakau 31 mei


Hari tanpa tembakau sedunia diperingati setiap tanggal 31 Mei, bermula dari Sidang Umum Kesehatan Sedunia pada tanggal 7 April 1987, resolusi yang dibuat salah satunya adalah “world no-smoking day”, dan mulai tahun 1988 disebut “world no tobacco day” yang diperingati setiap tanggal 31 Mei.
Hari tanpa tembakau dikenal juga sebagai hari tanpa asap rokok, bertujuan untuk mengingatkan penduduk dunia akan bahaya tembakau bagi kesehatan manusia. Lebih dari 400.000 jiwa manusia melayang setiap tahunnya diakibatkan tembakau (menghisap rokok). Dengan peringatan ini, diharapkan dapat menekan jumlah kematian akibat rokok melalui aksi nyata dari pemerintah berupa kebijakan pemerintah yang anti rokok, mencegah kaum muda untuk merokok, larangan merokok di tempat umum dan sebagainya.
Tema tahun ini adalah Tobacco-Free Youth: Break the Tobacco Marketing Net dengan rejemahan bebas tema ini menjadi Bebaskan Kaum Muda dari Rokok : Putuskan Jaringan Pemasaran Rokok.
Dengan adanya tema ini diharapkan pemerintah dimasing-masing Negara dan masyarakat yang mencintai kesehatan (khususnya anti rokok) berperan untuk melawan iklan, promosi dan sponsor yang berasal dari perusahaan rokok.
Umumnya perusahaan-perusahaan rokok gencar dalam memasarkan produknya kepada public khususnya kaum muda dengan berbagai iklan yang menarik dan menjadi sponsor-sponsor kegiatan yang digemari kaum muda, seperti olah raga, acara musik dan sebagainya. Strategi pemasaran melalui iklan dan sponsor kegiatan itu memang sangat jitu untuk menjaring anak muda menjadi perokok, bahkan sasarannya pun bisa jadi anak-anak serta gadis yang beranjak dewasa.
Dana yang dihabiskan perusahan-perusahaan rokok untuk iklan, promosi dan sebagai sponsor kegiatan di seluruh dunia telah mencapai milyaran dollar AS, suatu jumlah yang mengkhawatirkan bagi upaya menjaga kesehatan masyarakat dunia.
Kesehatan masyarakat dunia terancam dengan menambahnya perokok baru, dana yang dihabiskan untuk menjaga kesehatannya dan mengobati penyakit akibat merokok menambah pengeluaran dana dunia yang tidak perlu (tidak menguntungkan), sebuah kemubadziran yang terus berlangsung dan layak untuk dihentikan.
Pengusaha rokok sudah saatnya dengan penuh kesadaran untuk segera mengganti usahanya dengan usaha yang menyehatkan dan menguntungkan semua pihak.

Selasa, 24 Mei 2011

Gagal Ginjal Kronis


GAGAL GINJAL KRONIS

I. KONSEP GAGAL GINJAL KRONIS
A. DEFINISI
Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min. (Suyono, et al, 2001)
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia. (Smeltzer & Bare, 2001)

B. ETIOLOGI
Penyebab dari gagal ginjal kronis antara lain :
1. Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis)
2. Penyakit peradangan (glomerulonefritis)
3. Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)
4. Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis sitemik)
5. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal)
6. Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)
7. Nefropati toksik
8. Nefropati obstruktif (batu saluran kemih)
(Price & Wilson, 1994)

C. PATOFISIOLOGI & PATHWAYS
1. Patofisiologi
Gagal ginjal kronis selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR. Stadium gagal ginjal kronis didasarkan pada tingkat GFR(Glomerular Filtration Rate) yang tersisa dan mencakup :
a. Penurunan cadangan ginjal;
Yang terjadi bila GFR turun 50% dari normal (penurunan fungsi ginjal), tetapi tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron yang sehat mengkompensasi nefron yang sudah rusak, dan penurunan kemampuan mengkonsentrasi urin, menyebabkan nocturia dan poliuri. Pemeriksaan CCT 24 jam diperlukan untuk mendeteksi penurunan fungsi
b. Insufisiensi ginjal;
Terjadi apabila GFR turun menjadi 20 – 35% dari normal. Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena beratnya beban yang diterima. Mulai terjadi akumulai sisa metabolic dalam darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi mengkompensasi. Penurunan respon terhadap diuretic, menyebabkan oliguri, edema. Derajat insufisiensi dibagi menjadi ringan, sedang dan berat, tergantung dari GFR, sehingga perlu pengobatan medis
c. Gagal ginjal; yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal.
d. Penyakit gagal ginjal stadium akhir;
Terjadi bila GFR menjadi kurang dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan atrofi tubuluS. Akumulasi sisa metabolic dalam jumlah banyak seperti ureum dan kreatinin dalam darah. Ginjal sudah tidak mampu mempertahankan homeostatis dan pengobatannya dengan dialisa atau penggantian ginjal.
(Corwin, 1994)

2. Pathways (terlampir)

D. MANIFESTASI KLINIK
1. Kardiovaskuler
Ø Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis
Ø Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)
Ø Edema periorbital
Ø Friction rub pericardial
Ø Pembesaran vena leher
2. Dermatologi
Ø Warna kulit abu-abu mengkilat
Ø Kulit kering bersisik
Ø Pruritus
Ø Ekimosis
Ø Kuku tipis dan rapuh
Ø Rambut tipis dan kasar

3. Pulmoner
Ø Krekels
Ø Sputum kental dan liat
Ø Nafas dangkal
Ø Pernafasan kussmaul
4. Gastrointestinal
Ø Anoreksia, mual, muntah, cegukan
Ø Nafas berbau ammonia
Ø Ulserasi dan perdarahan mulut
Ø Konstipasi dan diare
Ø Perdarahan saluran cerna
5. Neurologi
Ø Tidak mampu konsentrasi
Ø Kelemahan dan keletihan
Ø Konfusi/ perubahan tingkat kesadaran
Ø Disorientasi
Ø Kejang
Ø Rasa panas pada telapak kaki
Ø Perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal
Ø Kram otot
Ø Kekuatan otot hilang
Ø Kelemahan pada tungkai
Ø Fraktur tulang
Ø Foot drop
2. Reproduktif
Ø Amenore
Ø Atrofi testekuler
(Smeltzer & Bare, 2001)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
o Laboratorium darah :
BUN, Kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Phospat), Hematologi (Hb, trombosit, Ht, Leukosit), protein, antibody (kehilangan protein dan immunoglobulin)

o Pemeriksaan Urin
Warna, PH, BJ, kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen, SDM, keton, SDP, TKK/CCT
2. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia)
3. Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostate
4. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen

F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan terhadap gagal ginjal meliputi :
1. Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat.
2. Obat-obatan : diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium hidroksida untuk terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta diberi obat yang dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa bila terjadi anemia.
3. Dialisis
4. Transplantasi ginjal
(Reeves, Roux, Lockhart, 2001)

G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :
1. Hiperkalemia
2. Perikarditis
3. Hipertensi
4. Anemia
5. Penyakit tulang
(Smeltzer & Bare, 2001)



II. ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL KRONIS
B. PENGKAJIAN
1. Aktifitas dan Istirahat
Kelelahan, kelemahan, malaise, gangguan tidur
Kelemahan otot dan tonus, penurunan ROM
2. Sirkulasi
Riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi, nyeri dada
Peningkatan JVP, tachycardia, hipotensi orthostatic, friction rub
3. Integritas Ego
Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada kekuatan
Menolak, cemas, takut, marah, irritable
4. Eliminasi
Penurunan frekuensi urin, oliguri, anuri, perubahan warna urin, urin pekat warna merah/coklat, berawan, diare, konstipasi, abdomen kembung
5. Makanan/Cairan
Peningkatan BB karena edema, penurunan BB karena malnutrisi, anoreksia, mual, muntah, rasa logam pada mulut, asites
Penurunan otot, penurunan lemak subkutan
6. Neurosensori
Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot, kejang, kebas, kesemutan
Gangguan status mental,penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, koma
7. Nyeri/Kenyamanan
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki
Distraksi, gelisah
8. Pernafasan
Pernafasan Kussmaul (cepat dan dangkal), Paroksismal Nokturnal Dyspnea (+)
Batuk produkrif dengan frotty sputum bila terjadi edema pulmonal
9. Keamanan
Kulit gatal, infeksi berulang, pruritus, demam (sepsis dan dehidrasi), petekie, ekimosis, fraktur tulang, deposit fosfat kalsieum pada kulit, ROM terbatas
10. Seksualitas
Penurunan libido, amenore, infertilitas
11. Interaksi Sosial
Tidak mampu bekerja, tidak mampu menjalankan peran seperti biasanya
(Doengoes, 2000)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kelebihan volume cairan b.d. penurunan haluaran urin, retensi cairan dan natrium sekunder terhadap penurunan fungsi ginjal
2. Resiko tinggi perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d katabolisme protein, pembatasan diet, peningkatan metabolisme, anoreksi, mual, muntah
3. Resiko tinggi terjadi kekurangan volume cairan b.d. kehilangan cairan berlebihan (fase diuretik)
4. Resiko tinggi penurunan curah jantung b.d. ketidakseimbangan volume sirkulasi, ketidakseimbangan elektrolit
5. Intoleransi aktivitas b.d. penurunan produksi energi metabolic, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisa
6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit b.d gangguan status metabolic, edema, kulit kering, pruritus
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d keterbatasan kognitif, kurang terpajan, misintepretasi informasi

C. INTERVENSI
1. Kelebihan volume cairan b.d. penurunan haluaran urin, retensi cairan dan natrium sekunder terhadap penurunan fungsi ginjal
Tujuan : pasien menunjukkan pengeluaran urin tepat seimbang dengan pemasukan.
Kriteria Hasil :
• Hasil laboratorium mendekati normal
• BB stabil
• Tanda vital dalam batas normal
• Tidak ada edema
Intervensi :
a. Monitor denyut jantung, tekanan darah, CVP
b. Catat intake & output cairan, termasuk cairan tersembunyi seperti aditif antibiotic, ukur IWL
c. Awasi BJ urin
d. Batasi masukan cairan
e. Monitor rehidasi cairan dan berikan minuman bervariasi
f. Timbang BB tiap hari dengan alat dan pakaian yang sama
g. Kaji kulit,wajah, area tergantung untuk edema. Evaluasi derajat edema (skala +1 sampai +4)
h. Auskultasi paru dan bunyi jantung
i. Kaji tingkat kesadaran : selidiki perubahan mental, adanya gelisah

Kolaborasi :
i. Perbaiki penyebab, misalnya perbaiki perfusi ginjal, me ↑ COP
ii. Awasi Na dan Kreatinin Urine Na serum, Kalium serumHb/ Ht
iii. Rongent Dada
iv. Berikan Obat sesuai indikasi : Diuretik : Furosemid, Manitol; Antihipertensi : Klonidin, Metildopa
v. Masukkan/pertahankan kateter tak menetap sesuai indikasi
vi. Siapkan untuk dialisa sesuai indikasi

2. Resiko tinggi perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d katabolisme protein, pembatasan diet, peningkatan metabolisme, anoreksi, mual, muntah
Tujuan : mempertahankan status nutrisi adekuat
Kriteria hasil : berat badan stabil, tidak ditemukan edema, albumin dalam batas normal.
Intervensi :
a. Kaji status nutrisi
b. Kaji/catat pola dan pemasukan diet
c. Kaji factor yang berperan merubah masukan nutrisi : mual, anoreksia
d. Berikan makanan sedikit tapi sering, sajikan makanan kesukaan kecuali kontra indikasi
e. Lakukan perawatan mulut, berikan penyegar mulut
f. Timbang BB tiap hari

Kolaborasi ;
Ø Awasi hasil laboratorium : BUN, Albumin serum, transferin, Na, K
Ø Konsul ahli gizi untuk mengatur diet
Ø Berikan diet ↑ kalori, ↓ protein, hindari sumber gula pekat
Ø Batasi K, Na, dan Phospat
Ø Berikan obat sesuai indikasi : sediaan besi; Kalsium; Vitamin D dan B kompleks; Antiemetik


3. Resiko tinggi terjadi kekurangan volume cairan b.d. kehilangan cairan berlebihan (fase diuretik)
Hasil yang diharapkan : klien menunjukkan keseimbangan intake & output, turgor kulit baik, membrane mukosa lembab, nadi perifer teraba, BB dan TTV dalam batas normal, elektrolit dalam batas normal
Intervensi :
a. Ukur intake & output cairan , hitung IWL yang akurat
b. Berikan cairan sesuai indikasi
c. Awasi tekanan darah, perubahan frekuansi jantung, perhatikan tanda-tanda dehidrasi
d. Kontrol suhu lingkungan
e. Awasi hasil Lab : elektrolit Na

4. Resiko tinggi penurunan curah jantung b.d. ketidakseimbangan volume sirkulasi, ketidakseimbangan elektrolit
Tujuan : klien dapat mempertahankan curah jantung yang adekuat
Kriteria Hasil :
• TD dan HR dalam batas normal
• Nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi :
a. Auskultasi bunyi jantung, evaluasi adanya, dispnea, edema perifer/kongesti vaskuler
b. Kaji adanya hipertensi, awasi TD, perhatikan perubahan postural saat berbaring, duduk dan berdiri
c. Observasi EKG, frekuensi jantung
d. Kaji adanya nyeri dada, lokasi, radiasi, beratnya, apakah berkurang dengan inspirasi dalam dan posisi telentang
e. Evaluasi nadi perifer, pengisian kapiler, suhu, sensori dan mental
f. Observasi warna kulit, membrane mukosa dan dasar kuku
g. Kaji tingkat dan respon thdp aktivitas
h. Pertahankan tirah baring

Kolaborasi:
Ø Awasi hasil laboratorium : Elektrolit (Na, K, Ca, Mg), BUN, creatinin
Ø Berikan oksigen dan obat-obatan sesuai indikasi
Ø Siapkan dialysis

5. Intoleransi aktivitas b.d. penurunan produksi energi metabolic, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisa
Tujuan : klien mampu berpartisipasi dalam aktifitas yang dapat ditoleransi
Intervensi ;
a. Kaji tingkat kelelahan, tidur , istirahat
b. Kaji kemampuan toleransi aktivitas
c. Identifikasi faktor yang menimbulkan keletihan
d. Rencanakan periode istirahat adekuat
e. Berikan bantuan ADL dan ambulasi
f. Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi, anjurkan aktifitas alternative sambil istirahat


6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit b.d gangguan status metabolic, edema, kulit kering, pruritus
Hasil yang diharapkan : kulit hangat, utuh, turgor baik, tidak ada lesi
Intervensi :
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, ekimosis, kerusakan, suhu
b. Pantau intake & output cairan, hidrasi kulit dan membrane mukosa
c. Jaga kulit tetep kering dan bersih
d. Ubah posisi tidur dengan sering, beri bantalan pada penonjolan tulang
e. Beri perawatan kulit, batasi sabun, olesi lotion, salep, krim; tangani area edema dengan hati-hati
f. Pertahankan linen kering dan kencang
g. Anjurkan menggunakan kompres lembab dan dingin pada area pruritus
h. Anjurkan menggunakan bahan katun, Berikan kasur dekubitus

7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d keterbatasan kognitif, kurang terpajan, misintepretasi informasi
Tujuan : klien menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan pengobatan, melakukan dengan benar prosedur yang perlu, perubahan perilaku hidup
Intervensi :
a. Kaji ulang pengetahuan klien tentang proses penyakit/prognosa
b. Kaji ulang pembatasan diet ; fosfat dan Mg
c. Diskusi masalah nutrisi/diet tinggi karbohidrat, Rendah protein, rendah natrium sesuai indikasi
d. Diskusikan terapi obat, nama obat, dosis, jadwal, manfat dan efek samping
e. Diskusikan tentang pembatasan cairan
f. Kaji ulang tindakan mencegah perdarahan : sikat gigi halus
g. Buat program latihan rutin, kemampuan dalam toleransi aktivitas
h. Identifikasi tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi medik segera :
Demam, menggigil, perubahan urin/ sputum, edema,ulkus,kebas,spasme pembengkakan sendi, pe↓ ROM, sakit kepala, penglihatan kabur, edema periorbital/sacral, mata merah

DAFTAR PUSTAKA

1. Long, B.C. Essential of medical – surgical nursing : A nursing process approach. Alih bahasa : Yayasan IAPK. Bandung: IAPK Padjajaran; 1996 (Buku asli diterbitkan tahun 1989)
2. Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarth’s textbook of medical–surgical nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC; 2000 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)
3. Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical – surgical nursing. Alih bahasa : Setyono, J. Jakarta: Salemba Medika; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1999)
4. Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)
5. Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994 (Buku asli diterbitkan tahun 1992)
6. Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa,I.M. Jakarta: EGC; 2000 (Buku asli diterbitkan tahun 1993)
7. Suyono, S, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001
8. Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical – surgical nursing. Alih bahasa : Setyono, J. Jakarta: Salemba Medika; 2001(Buku asli diterbitkan tahun 1999)

Senin, 23 Mei 2011

Diabetes Insipidus

Diabetes Insipidus
DEFINISI

Diabetes Insipidus adalah suatu kelainan dimana terdapat kekurangan hormon antidiuretik yang menyebabkan rasa haus yang berlebihan (polidipsi) dan pengeluaran sejumlah besar air kemih yang sangat encer (poliuri).

Diabetes insipidus terjadi akibat penurunan pembentukan hormon antidiuretik (vasopresin), yaitu hormon yang secara alami mencegah pembentukan air kemih yang terlalu banyak.
Hormon ini unik, karena dibuat di hipotalamus lalu disimpan dan dilepaskan ke dalam aliran darah oleh hipofisa posterior.
Diabetes insipidus juga bisa terjadi jika kadar hormon antidiuretik normal tetapi ginjal tidak memberikan respon yang normal terhadap hormon ini (keadaan ini disebut diabetes insipidus nefrogenik).

PENYEBAB

Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh beberapa hal:
# Hipotalamus mengalami kelainan fungsi dan menghasilkan terlalu sedikit hormon antidiuretik
# Kelenjar hipofisa gagal melepaskan hormon antidiuretik ke dalam aliran darah
# Kerusakan hipotalamus atau kelenjar hipofisa akibat pembedahan
# Cedera otak (terutama patah tulang di dasar tengkorak)
# Tumor
# Sarkoidosis atau tuberkulosis
# Aneurisma atau penyumbatan arteri yang menuju ke otak
# Beberapa bentuk ensefalitis atau meningitis
# Histiositosis X (penyakit Hand-Sch�ller-Christian).

GEJALA

Diabetes insipidus dapat timbul secara perlahan maupun secara tiba-tiba pada segala usia.
Seringkali satu-satunya gejala adalah rasa haus dan pengeluaran air kemih yang berlebihan.

Sebagai kompensasi hilangnya cairan melalui air kemih, penderita bisa minum sejumlah besar cairan (3,8-38 L/hari).
Jika kompensasi ini tidak terpenuhi, maka dengan segera akan terjadi dehidrasi yang menyebabkan tekanan darah rendah dan syok.
Penderita terus berkemih dalam jumlah yang sangat banyak, terutama di malam hari.

DIAGNOSA

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya.
Untuk menyingkirkan diabetes melitus (kencing manis) dilakukan pemeriksaan gula pada air kemih.

Pemeriksaan darah menunjukkan kadar berbagai elektrolit yang abnormal.

Pemeriksaan yang paling sederhana dan paling dapat dipercaya untuk diabetes insipidus adalah water deprivation test.
Selama menjalani pemeriksaan ini penderita tidak boleh minum dan bisa terjadi dehidrasi berat. Oleh karena itu pemeriksaan ini harus dilakukan di rumah sakit atau tempat praktek dokter.
Pembentukan air kemih, kadar elektrolit darah (natrium) dan berat badan dikur secara rutin selama beberapa jam. Segera setelah tekanan darah turun atau denyut jantung meningkat atau terjadi penurunan berat badan lebih dari 5%, maka tes ini dihentikan dan diberikan suntikan hormon antidiuretik.
Diagnosis diabetes insipidus semakin kuat jika sebagai respon terhadap hormon antidiuretik:
- pembuangan air kemih yang berlebihan berhenti
- tekanan darah naik
- denyut jantung kembali normal.

PENGOBATAN

Diabetes insipidus diobati dengan mengatasi penyebabnya.

Vasopresin atau desmopresin asetat (dimodifikasi dari hormon antidiuretik) bisa diberikan sebagai obat semprot hidung beberapa kali sehari untuk mempertahankan pengeluaran air kemih yang normal.
Terlalu banyak mengkonsumsi obat ini bisa menyebabkan penimbunan cairan, pembengkakan dan gangguan lainnya.

Suntikan hormon antidiuretik diberikan kepada penderita yang akan menjalani pembedahan atau penderita yang tidak sadarkan diri.

Kadang diabetes insipidus bisa dikendalikan oleh obat-obatan yang merangsang pembentukan hormon antidiuretik, seperti klorpropamid, karbamazepin, klofibrat dan berbagai diuretik (tiazid).
Tetapi obat-obat ini tidak mungkin meringankan gejala secara total pada diabetes insipidus yang berat.

Selasa, 03 Mei 2011

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR KRURIS



A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smelter & Bare, 2002).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik
(Price, 1995).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari
trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis,
yang menyebabkan fraktur yang patologis (Barret dan Bryant, 1990).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi
(Doenges, 2000).
Fraktur adalah teputusnya jaringan tulang/tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh ruda paksa.
B. Jenis Fraktur
1. Berdasarkan sifat fraktur
a. Fraktur tertutup
Apabila fagmen tulang yang patah tidak tampak dari luar
b. Fraktur terbuka
Apabila fragmen tulang yang patah tampak dari luar
2. Berdasarkan komplit / tidak komplit fraktur
a. Fraktur komplit
Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami
pergeseran bergeser dari posisi normal)
b. Fraktur inkomplit
Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang
Misal :
1) Hair line fraktur
2) Green stick ® fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi
yang lain membengkok
3. Berdasarkan bentuk garis patah & hubungan dengan mekanisme tauma
a. Fraktur transversal
Arah melintang dan merupakan akibat trauma angulasi / langsung
b. Fraktur oblik
Arah garis patah membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan
akibat dari trauma langsung
c. Fraktur spiral
Arah garis patah spiral dan akibat dari trauma rotasi
d. Fraktur kompresi
Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
Istilah lain
e. Fraktur komunitif
Fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
f. Fraktur depresi
Fraktur dengan bentuk fragmen terdorong ke dalam (sering terjadi pada
tulang tengkorak dan tulang wajah).
g. Fraktur patologik
Fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, tumor,
metastasis tulang).
h. Fraktur avulsi
Tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendon pada perlekatannya.
(Smelter & Bare, 2002).
C. Etiologi
1. Menurut Oswari E (1993)
a. Kekerasan langsung
Terkena pada bagian langsung trauma
b. Kekerasan tidak langsung
Terkena bukan pada bagian yang terkena trauma
c. Kekerasan akibat tarikan otot
2. Menurut Barbara C Long (1996)
a. Benturan & cedera (jatuh, kecelakaan)
b. Fraktur patofisiologi (oleh karena patogen, kelainan)
c. Patah karena letih
D. Manifestasi Klinik
1. Nyeri
2. Deformitas (kelainan bentuk)
3. Krepitasi (suara berderik)
4. Bengkak
5. Peningkatan temperatur lokal
6. Pergerakan abnormal
7. Echymosis (perdarahan subkutan yang lebar-lebar)
8. Kehilangan fungsi (Smelter & Bare, 2002).
E. Prinsip Penatalaksanaan Dengan Konservatif & Operatif
1. Cara Konservatif
Dilakukan pada anak-anak dan remaja dimana masih memungkinkan
terjadinya pertumbuhan tulang panjang. Selain itu, dilakukan karena adanya
infeksi atau diperkirakan dapat terjadi infeksi. Tindakan yang dilakukan
adalah dengan gips dan traksi.
a. Gips
Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk
tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :
1) Immobilisasi dan penyangga fraktur
2) Istirahatkan dan stabilisasi
3) Koreksi deformitas
4) Mengurangi aktifitas
5) Membuat cetakan tubuh orthotik
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips adalah
1) Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan
2) Gips patah tidak bisa digunakan
3) Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan
klien
4) Jangan merusak / menekan gips
5) Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips / menggaruk
6) Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama
b. Traksi (mengangkat / menarik)
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali
pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa
sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah.
Metode pemasangan traksi antara lain :
1) Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada
keadaan emergency
Traksi mekanik, ada 2 macam :
a) Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal
otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
b) Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan
balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi
dengan kawat metal / penjepit melalui tulang / jaringan metal.
Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :
a. Mengurangi nyeri akibat spasme otot
b. Memperbaiki & mencegah deformitas
c. Immobilisasi
d. Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi)
e. Mengencangkan pada perlekatannya
Prinsip pemasangan traksi :
a. Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan gaya
tarik
b. Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang
dengan pemberat agar reduksi dapat dipertahankan
c. Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan
khusus
d. Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol
e. Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai
f. Traksi yang dipasang harus baik dan terasa nyaman
2. Cara operatif / pembedahan
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya
mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna
dan reduksi terbuka. Pada umumnya insisi dilakukan pada tempat yang
mengalami cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat
yang mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang
telah mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar
menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi, fragmenfragmen
tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen,
sekrup, pelat, dan paku.
Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain :
a. Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah
b. Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada
didekatnya
c. Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai
d. Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain
e. Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasuskasus
yang tanpa komplikasi dan dengan kemampuan mempertahankan
fungsi sendi dan fungsi otot hampir normal selama penatalaksanaan
dijalankan
F. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit volume cairan b.d. perdarahan
2. Nyeri akut b/d trauma jaringan syaraf
3. Ansietas b/d adanya ancaman terhadap konsep diri/citra diri
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. mual, muntah
5. Resti infeksi b.d. imflamasi bakteri ke daerah luka
G. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut b/d trauma jaringan syaraf
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 X 24 jam klien
mampu mengontrol nyeri, dengan kriteria hasil :
a. Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
b. Mengikuti program pengobatan yang diberikan
c. Menunjukan penggunaan tehnik relaksasi
Intervansi :
a. Kaji tipe atau lukasi nyeri. Perhatikan intensitas pada skala 0-10. Perhatikan
respon terhadap obat. Rasional : Menguatkan indikasi ketidaknyamanan,
terjadinya komplikasi dan evaluasi keevektivan intervensi.
b. Motivasi penggunaan tehnik menejemen stres, contoh napas dalam dan
visualisasi. Rasional : Meningkatkan relaksasi, memvokuskan kembali
perhatian, dan dapat meningkatkan kemampuan koping, menghilangkan nyeri.
c. Kolaborasi pemberian obat analgesic Rasional : mungkin dibutuhkan untuk
penghilangan nyeri/ketidaknyamanan.
2. Nutisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam nutrisi
pasien terpenuhi dengan KH:
a. Makanan masuk
b. BB pasien naik
c. Mual, muntah hilang
Intervensi:
a. Berikan makan dalam porsi sedikit tapi sering Rasional: memberikan
asupan nutrisi yang cukup bagi pasien
b. Sajikan menu yang menarik Rasional: Menghindari kebosanan pasien,
untuh menambah ketertarikan dalam mencoba makan yang disajikan
c. Pantau pemasukan makanan Rasional: Mengawasi kebutuhan asupan
nutrisi pada pasien
d. Kolaborasi pemberian suplemen penambah nafsu makan Rasional:
kerjasama dalam pengawasan kebutuhan nutrisi pasien selama dirawat di
rumah sakit
3. Ansietas b/d adanya ancaman terhadap konsep diri/citra diri
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 jam, klien
memiliki rentang respon adaptif, dengan kriteria hasil :
a. Tampak relaks dan melaporkan ansietas menurun sampai dapat ditangani.
b. Mengakui dan mendiskusikan rasa takut.
c. Menunjukkan rentang perasaan yang tepat.
Intervensi :
a. Dorong ekspresi ketakutan/marah Rasional : Mendefinisikan masalah dan
pengaruh pilihan intervensi.
b. Akui kenyataan atau normalitas perasaan, termasuk marah Rasional :
Memberikan dukungan emosi yang dapat membantu klien melalui
penilaian awal juga selama pemulihan
c. Berikan informasi akurat tentang perkembangan kesehatan Rasional :
Memberikan informasi yang jujur tentang apa yang diharapkan membantu
klien/orang terdekat menerima situasi lebih evektif.
d. Dorong penggunaan menejemen stres, contoh : napas dalam, bimbingan
imajinasi, visualisasi. Rasional : membantu memfokuskan kembali
perhatian, meningkatkan relaksasi, dan meningkatkan penigkatan
kemampuan koping.
Daftar Pustaka
Carpenitto, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Alih bahasa :
Monica Ester, Edisi 8. EGC : Jakarta.
Doengoes, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
perencanaan Keperawatan dan masalah kolaboratif. Alih Bahasa : I Made Kanosa,
Edisi III. EGC Jakarta.
Hinchliff, Sue. (1996). Kamus Keperawatan. Edisi; 17. EGC : Jakarta.
Sumber : http://stikep.blogspot.com
Design by Defa Arisandi, A.Md.Kep
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. 1995. Patofisiologi: CONSEP klinis prosesproses
penyakit. Yakarta: EGC.
Sudart dan Burnner, (1996). Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 8. Vol 3. EGC : Jakarta.

Senin, 02 Mei 2011

askep Benigne Prostat Hyperplasia

A. Pengertian
Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat
meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan
penyumbatan uretra pars prostatika (Lab/UPF Ilmu Bedah RSUD Dr Soetomo,
1994 : 193).
B. Etiologi/Penyebabnya
Penyebab yang pasti dari terjadinya Benigne Prostat Hyperplasia sampai sekarang
belum diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya
Benigne Prostat Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut. Karena etiologi yang
belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya Benigne
Prostat Hyperplasia antara lain :
1. Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel
dan stroma dari kelenjar prostatmengalami hiperplasia.
2. Ketidak seimbangan estrogen – testoteron
Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen
dan penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat
menyebabkan terjadinya hyperplasia stroma.
3. Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan
penurunan transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma
dan epitel.
4. Penurunan sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem cell Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
(Roger Kirby, 1994 : 38).
C. Anatomi Dan Fisiologi
Prostat Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi /
mengitari uretra posterior dan disebelah proximalnya berhubungan dengan bulibuli,
sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma
urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul. Kelenjar ini pada lakilaki
dewasa kurang lebih sebesar buah kemiri atau jeruk nipis. Ukuran,
panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm.
Beratnya sekitar 20 gram. Prostat terdiri dari : · Jaringan Kelenjar ® 50 - 70 %
Jaringan Stroma (penyangga) · Kapsul/Musculer Kelenjar prostat menghasilkan
cairan yang banyak mengandung enzym yang berfungsi untuk pengenceran
sperma setelah mengalami koagulasi (penggumpalan) di dalam testis yang
membawa sel-sel sperma. Pada waktu orgasme otot-otot di sekitar prostat akan
bekerja memeras cairan prostat keluar melalui uretra. Sel – sel sperma yang
dibuat di dalam testis akan ikut keluar melalui uretra. Jumlah cairan yang
dihasilkan meliputi 10 – 30 % dari ejakulasi. Kelainan pada prostat yang dapat
mengganggu proses reproduksi adalah keradangan (prostatitis). Kelainan yang
lain sepeti pertumbuhan yang abnormal (tumor) baik jinak maupun ganas, tidak
memegang peranan penting pada proses reproduksi tetapi lebih berperanan pada
terjadinya gangguan aliran kencing. Kelainanyang disebut belakangan ini
manifestasinya biasanya pada laki-laki usia lanjut.
D. Patofisiologi
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia,
jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit
saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat
meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra
prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat
memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan
anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan
klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary
Tract Symptom/LUTS (Basuki, 2000 : 76). Pada fase-fase awal dari Prostat
Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor berhasil dengan sempurna.
Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak berubah. Pada fase ini disebut
Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan kemampuan
kompensasi menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan
serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga
tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali Prostat
Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra
abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan
haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya
melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut sebagai
Prostat Hyperplasia Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut
menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah
inkontinensia urine secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat
dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli
tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi
adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi
urine.Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal
(Sunaryo, H. 1999 : 11) Gejala Benigne Prostat Hyperplasia Gejala klinis yang
ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma
Prostatisme.
Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli
memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal
guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan
karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan
intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2. Gejala Iritasi yaitu :
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi
pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
Derajat Benigne Prostat Hyperplasia Benigne Prostat Hyperplasia terbagi dalam 4
derajat sesuai dengan gangguan klinisnya :
1. Derajat satu,
Keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 – 2 cm, sisa urine kurang
50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.
2. Derajat dua,
Keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat, panas
badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas
atas masih teraba, sisa urine 50 – 100 cc dan beratnya + 20 – 40 gram.
3. Derajat tiga,
Gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa urine lebih
100 cc, penonjolan prostat 3 – 4 cm, dan beratnya 40 gram.
4. Derajat empat,
Inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit keginjal seperti
gagal ginjal, hydroneprosis.
E. Pengkajian Riwayat Keperawatan
1. Suspect BPH
a. Umur > 60 tahun
2. Pola urinari : frekuensi, nocturia, disuria.
3. Gejala obstruksi leher buli-buli : prostatisme (Hesitansi, pancaran, melemah,
intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa) Jika frekuensi dan noctoria
tak disertai gejala pembatasan aliran non Obstruktive seperti infeksi.
4. BPH
a. Hematuri
F. Pemeriksaan Fisik
1. Perhatian khusus pada abdomen
Defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis menunjukkan renal insufisiensi
dari obstruksi yang lama.
a. Distensi kandung kemih
b. Inspeksi : Penonjolan pada daerah supra pubik
1) retensi urine
c. Palpasi : Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan
pasien ingin buang air kecil
® retensi urine
d. Perkusi : Redup
® residual urine
e. Pemeriksaan penis : uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya
stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis.
f. Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur)
® posisi knee chest Syarat : buli-buli kosong/dikosongkan
Tujuan : Menentukan konsistensi prostat Menentukan besar prostat
2. Pemeriksaan Radiologi Pada Pemeriksaan Radiologi ditujukan untuk
a. Menentukan volume Benigne Prostat Hyperplasia
b. Menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residual urine
c. Mencari ada tidaknya kelainan baik yang berhubungan denganBenigne
Prostat Hyperplasia atau tidak
3. Pemeriksaan Radiologi
a. Intra Vena Pyelografi ( IVP )
Gambaran trabekulasi buli, residual urine post miksi, dipertikel buli.
Indikasi : disertai hematuria, gejala iritatif menonjol disertai urolithiasis
Tanda BPH : Impresi prostat, hockey stick ureter
b. BOF
Untuk mengetahui adanya kelainan pada renal
c. Retrografi dan Voiding Cystouretrografi : untuk melihat ada tidaknya
refluk vesiko ureter/striktur uretra.
d. USG
Untuk menentukan volume urine, volume residual urine dan menilai
pembesaran prostat jinak/ganas
4. Pemeriksaan Endoskopi.
5. Pemeriksaan Uroflowmetri
Berperan penting dalam diagnosa dan evaluasi klien dengan obstruksi leher
buli-buli Q max : > 15 ml/detik ® non obstruksi 10 - 15 ml/detik
a. border line < 10 ml/detik
b. obstruktif
6. Pemeriksaan Laborat
a. Urinalisis (test glukosa, bekuan darah, UL, DL, RFT, LFT, Elektrolit,
Na,/K, Protein/Albumin, pH dan Urine Kultur)
Jika infeksi:pH urine alkalin, spesimen terhadap Sel Darah Putih, Sel
Darah Merah atau PUS.
b. RFT
Evaluasi fungsi renal
c. Serum Acid Phosphatase
Prostat Malignancy
G. Diagnosa Keperawatan Pre Operasi
1. Gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi (retensio urine) baik akut maupun
kronis berhubungan dengan obstruksi akibat pembesaran prostat/dekompresi
otot detrussor ditandai dengan urine menetes, sering buang air kecil, buang air
kecil sedikit-sedikit tidak bisa mengosongkan kandung kencing secara total,
distensi kandung kencing.
2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan iritasi mukosa/distensi
kandung kencing/kolik renal/infeksi saluran kencing ditandai dengan keluhan
nyeri spasme kandung kemih, perubahan tonus otot, merintih kesakitan.
3. Cemas berhubungan dengan rencana pembedahan dan kehilangan status
kesehatan serta penurunan kemampuan sexual ditandai dengan peningkatan
tensi, ungkapan rasa takut
4. Dysfungsi sexual berhubungan dengan obstrusi perkemihan.
5. Kurang pengetahuan tentang sifat penyakit, tujuan tindakan yang
diprogramkan dan pemeriksaan diagnostik berhubungan dengan kurangnya
informasi /terbatasnya informasi/informasi yang keliru ditandai dengan pasien
sering bertanya, perintah yang tidak dituruti dan perkembangan infeksi tidak
dapat dicegah.
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sering miksi pada malam hari
7. Resiko injury dan resiko infeksi berhubungan dengan obstruksi perkemihan
8. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemasangan Dower
Cateter yang lama
H. Diagnosa Keperawatan Post Operasi
1. Terjadinya perdarahan berhubungan dengan tindakan bedah (reseksi).
2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan terputusnya kontinuitas
jaringan akibat reseksi
3. Cemas berhubungan dengan proses penyakitnya yang masih dapat kambuh
lagi. 4. Resiko terjadinya retensi urine berhubungan dengan obstruksi saluran
kateter oleh bekuan darah/klot.
4. Resiko terjadinya kelebihan cairan dalam tubuh (Syndroma TUR)
berhubungan dengan adanya penyerapan cairan irigasi yang berlebihan.
I. Perencanaan/Penatalaksanaan
Tujuan: klien tidak akan mengalami berbagai komplikasi dari pengobatan retensi
Urine.
Intervensi: A Non Pembedahan
1. Memperkecil gejala obstruksi
hal-hal yang menyebabkan pelepasan cairan prostat. Prostatic massage
Frekuensi coitus meningkat Masturbasi
2. Menghindari minum banyak dalam waktu singkat, menghindari alkohol dan
diuretic mencegah oven distensi kandung kemih akibat tonus otot detrussor
menurun.
Sumber : http://stikep.blogspot.com
Design by Defa Arisandi, A.Md.Kep
3. Menghindari obat-obat penyebab retensi urine seperti : anticholinergic, anti
histamin, decongestan.
4. Observasi Watchfull Waiting Yaitu pengawasan berkala/follow – up tiap 3 – 6
bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien Indikasi : BPH dengan
IPPS Ringan Baseline data normal Flowmetri non obstruksi
5. Terapi medikamentosa pada Benigne Prostat Hyperplasia
Terapi ini diindikasikan pada Benigne Prostat Hyperplasia dengan keluhan
ringan, sedang dan berat tanpa disertai penyulit serta indikasi pembedahan,
tetapi masih terdapat kontra indikasi atau belum “well motivated”.
Obat yang digunakan berasal dari Fitoterapi, Golongan Supressor Androgen
dan Golongan Alfa Bloker.
a. Fito Terapi
a) Hypoxis rosperi (rumput)
b) Serenoa repens (palem)
c) Curcubita pepo (waluh )
b. Pemberian obat Golongan Supressor Androgen/anti androgen :
a) Inhibitor 5 alfa reduktase
b) Anti androgen
c) Analog LHRH
c. Pemberian obat Golongan Alfa Bloker/obat penurun tekanan diuretraprostatika
: Prazosin, Alfulosin, Doxazonsin, Terazosin
6. Bila terjadi retensi urine
a. Kateterisasi Intermiten Indwelling
c. Dilakukan pungsi blass
d. Dilakukan cystostomy Prostetron (Trans Uretral Microwave
Thermoterapy/TUMT)
J. Pembedahan
1. Trans Uretral Reseksi Prostat
90 - 95 % 2. Open Prostatectomy : 5 - 10 % BPH yang besar (50 - 100 gram)
® Tidak habis direseksi dalam 1 jam. Disertai Batu Buli Buli Besar (>2,5cm),
multiple. Fasilitas TUR tak ada. Mortalitas Pembedahan BPH 0 - 1 %
KAUSA : Infark Miokatd Septikemia dengan Syok Perdarahan Massive
Kepuasan Klien : 66 – 95 %
Indikasi Pembedahan BPH
a. Retensi urine akut
b. Retensi urine kronis
c. Residual urine lebih dari 100 ml
d. BPH dengan penyulit
1) Hydroneprosis
2) Terbentuknya Batu Buli
3) Infeksi Saluran Kencing Berulang
4) Hematuri berat/berulang
5) Hernia/hemoroid
6) Menurunnya Kualitas Hidup
7) Retensio Urine
8) Gangguan Fungsi Ginjal
e. Terapi medikamentosa tak berhasil
f. Sindroma prostatisme yang progresif
g. Flow metri yang menunjukkan pola obstruktif
1) Flow. Max kurang dari 10 ml
2) Kurve berbentuk datar
3) Waktu miksi memanjang Kontra Indikasi · IMA · CVA akut
Tujuan : · Mengurangi gejala yang disertai dengan obstruksi leher bulibuli
· Memperbaiki kualitas hidup
2. Trans Uretral Reseksi Prostat
90 - 95 % Dilakukan bila pembesaran pada lobus medial.
Keuntungan :
a. Lebih aman pada klien yang mengalami resiko tinggi pembedahan
b. Tak perlu insisi pembedahan
c. Hospitalisasi dan penyebuhan pendek
Kerugian :
a. Jaringan prostat dapat tumbuh kembali
b. Kemungkinan trauma urethra (strictura urethra)
c. Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
Prostat terlalu besar tetapi tak ada masalah kandung kemih
3. Perianal Prostatectomy
a. Pembesaran prostat disertai batu buli-buli
b. Mengobati abces prostat yang tak respon terhadap terapi conservatif
c. Memperbaiki
komplikasi : laserasi kapsul prostat Suprapubic Atau Tranvesical
Prostatectomy
K. Pre Operatif Care
Mengkaji kecemasan klien, mengoreksi miskonsepsi tentang pembedahan dan
memberikan informasi yang akurat pada klien
1. Type pembedahan
2. Jenis anesthesia (TUR – P, general / spina anesthesia)
3. Cateter : folly cateter, Continuous Bladder Irigation (CBI).
Persiapan orerasi lainnya yaitu :
1. · Pemeriksaan lab. Lengkap : DL, UL, RFT, LFT, pH, Gula darah, Elektrolit
2. · Pemeriksaan EKG
3. · Pemeriksaan Radiologi : BOF, IVP, USG, APG.
4. · Pemeriksaan Uroflowmetri ® Bagi penderita yang tidak memakai kateter.
5. · Pemasangan infus dan puasa
6. · Pencukuran rambut pubis dan lavemen.
7. · Pemberian Anti Biotik
8. · Surat Persetujuan Operasi (Informed Concern).
L. Post Operatif Care
Post operatif care pada dasarnya sama seperti pasien lainnya yaitu monitoring
terhadap respirasi, sirkulasi dan kesadaran pasien :
1. Airway : Bebaskan jalan fafas Posisi kepala ekstensi Breathing : Memberikan
O2 sesuai dengan kebutuhan Observasi pernafasan Cirkulasi : mengukur tensi,
nadi, suhu tubuh, pernafasan, kesadaran dan produksi urine pada fase awal
(6jam) paska operasi harus dimonitor setiap jam dan harus dicatat.
o Bila pada fase awal stabil, monitor/interval bisa 3 jam sekali
o Bila tensi turun, nadi meningkat (kecil), produksi urine merah pekat harus
waspada terjadinya perdarahan segera cek Hb dan lapor dokter.
o Tensi meningkat dan nadi menurun (bradikardi), kadar natrium menurun,
gelisah atau delir harus waspada terjadinya syndroma TUR segera lapor
dokter.
o Bila produksi urine tidak keluar (menurun) dicari penyebabnya apakah
kateter buntu oleh bekuan darah terjadi retensi urine dalam buli-buli lapor
dokter, spoling dengan PZ tetesan tergantung dari warna urine yang keluar
dari Urobag.
o Bila urine sudah jernih tetesan spoling hanya maintennens/dilepas dan bila
produksi urine masih merah spoling diteruskan sampai urine jernih. Bila
perlu Analisa Gas Darah Apakah terjadi kepucatan, kebiruan.
o Cek lab : Hb, RFT, Na/K dan kultur urine.
2. Pemberian Anti Biotika ü Antibiotika profilaksis, diberikan bila hasil kultur
urine sebelum operasi steril. Antibiotik hanya diberikan 1 X pre operasi + 3 –
4 jam sebelum operasi. ü Antibiotik terapeutik, diberikanpada pasien memakai
dower kateter dari hasil kultur urine positif. Lama pemberian + 2 minggu,
mula-mula diberikan parenteral diteruskan peroral. Setiap melepas kateter
harus diberikan antibiotik profilaksis untuk mencegah septicemia.
3. Perawatan Kateter Kateter uretra yang dipasang pada pasca operasi prostat
yaitu folley kateter 3 lubang (treeway catheter) ukuran 24 Fr.
Ketiga lubang tersebut gunanya :
1. untuk mengisibalon, antara 30 – 40 ml cairan
2. untuk melakukan irigasi/spoling
3. untuk keluarnya cairan (urine dan cairan spoling).
Setelah 6 jam pertama sampai 24 jam kateter tadi biasanya ditraksi dengan
merekatkan ke salah satu paha pasien dengan tarikan berat beban antara 2
– 5 kg. Paha ini tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. Paling
lambat pagi harinya traksi harus dilepas dan fiksasi kateter dipindahkan ke
paha bagian proximal/ke arah inguinal agar tidak terjadi penekanan pada
uretra bagian penosskrotal. Guna dari traksi adalah untuk mencegah
perdarahan dari prostat yang diambil mengalir di dalam buli-buli,
membeku dan menyumbat pada kateter. Bila terlambat melepas kateter
traksi, dikemudian hari terjadi stenosis leher buli-buli karena mengalami
ischemia.
Tujuan pemberian spoling/irigasi :
1. Agar jalannya cairan dalam kateter tetap lancar.
2. Mencegah pembuntuan karena bekuan darah menyumbat kateter
3. Cairan yang digunakan spoling H2O / PZ
Kecepatan irigasi tergantung dari warna urine, bila urine merah spoling
dipercepat dan warna urine harus sering dilihat. Mobilisasi duduk dan
berjalan urine tetap jernih, maka spoling dapat dihentikan dan pipa spoling
dilepas. Kateter dilepas pada hari kelima. Setelah kateter dilepas maka
harus diperhatikan miksi penderita. Bisa atau tudak, bila bisa berapa
jumlahnya harus diukur dan dicatat atau dilakukan uroflowmetri.
Sebab-sebab terjadinya retensio urine lagi setelah kateter dilepas :
1. Terbentuknya bekuan darah
2. Pengerokan prostat kurang bersih (pada TUR) sehingga masih terdapat
obstruksi.
A. TUR – P Setelah TUR – P klien dipasang tree way folley cateter
dengan retensi balon 30 – 40 ml. Kateter di tarik untuk membantu
hemostasis Intruksikan klien untuk tidak mencoba mengosongkan bladder
Otot bladder kontraksi nyeri spasme CBI (Continuous Bladder Irigation)
dengan normal salin mencegah obstruksi atau komplikasi lain CBI – P.
Folley cateter diangkat 2 – 3 hari berikutnya Ketika kateter diangkat
timbul keluhan : frekuensi, dribbling, kebocoran normal Post TUR – P :
urine bercampur bekuan darah, tissue debris meningkat intake cairan
minimal 3000 ml/hari membantu menurunkan disuria dan menjaga urine
tetap jernih.
M. Open prostatectomy
Resiko post operative bleeding pada 24 jam pertama oleh karena bladder spsme
atau pergerakan Monitor out put urine tiap 2 jam dan tanda vital tiap 4 jam
Arterial bleeding urine kemerahan (saos) + clotting Venous bleeding urine
seperti anggur traction kateter Vetropubic prostatectomy
Observasi : drainage purulent, demam, nyeri meningkat deep wound infection,
pelvic abcess Suprapubic prostatectomy Perlu Continuous Bladder Irigation via
suprapubic klien diinstruksikan tetap tidur sampai Continuous Bladder Irigation
dihentikan ü Kateter uretra diangkat hari 3 – 4 post op. Setelah kateter diangkat,
kateter supra pubic di clamp dan klien disuruh miksi dan dicek residual urine,
jika residual urine ± 75 ml, kateter diangkat
N. Evaluasi
Kreteria yang diharapkan terhadap diagnosis yang berhubungan dengan obstruksi
urinari adalah :
1. Mengatasi obstruksi urine tanpa infeksi atau komplikasi yang permanen
2. Tidak mengalami tekanan atau nyeri berkepanjangan
3. Mengungkapkan penurunan atau tak adanya kecemasan tentang retensio urine.
4. Menunjukan tingkat fungsi sexual kembali sebagaimana sebelumnya.
Daftar Pustaka
Carpenito, Linda Jual. (1995). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan
(terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Doenges, et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (terjemahan). PT EGC.
Jakarta.
Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume
I (terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press.
Surabaya
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I.
(terjemahan).Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran.
Bandung.
Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.