Cari Blog Ini

Kamis, 16 Juni 2011

ASKEP TRAUMA ABDOMEN

TRAUMA ABDOMEN
A. PENGERTIAN
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional (Dorland, 2002).
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001).
Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 1995).

B. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh : pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt) (FKUI, 1995).


C. PATOFISIOLOGI
Tusukan/tembakan ; pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt)-Trauma abdomen- :
1. Trauma tumpul abdomen
Kehilangan darah.
Memar/jejas pada dinding perut.
Kerusakan organ-organ.
Nyeri
Iritasi cairan usus
2.Trauma tembus abdomen
Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
Respon stres simpatis
Perdarahan dan pembekuan darah
Kontaminasi bakteri
Kematian sel
1 & 2 menyebabkan :
• Kerusakan integritas kulit
• Syok dan perdarahan
• Kerusakan pertukaran gas
• Risiko tinggi terhadap infeksi
• Nyeri akut (FKUI, 1995).
D. TANDA DAN GEJALA
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium) :
Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
Respon stres simpatis
Perdarahan dan pembekuan darah
Kontaminasi bakteri
Kematian sel
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
Kehilangan darah.
Memar/jejas pada dinding perut.
Kerusakan organ-organ.
Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut.
Iritasi cairan usus (FKUI, 1995).

E. KOMPLIKASI
Segera : hemoragi, syok, dan cedera.
Lambat : infeksi (Smeltzer, 2001).

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
 Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ; kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.
Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.
Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.
IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing.
 Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan trauma kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli terlebih dahulu.
Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan memasukkan cairan garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan kedalam rongga peritonium (FKUI, 1995).

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kedaruratan ; ABCDE.
Pemasangan NGT untuk pengosongan isi lambung dan mencegah aspirasi.
Kateter dipasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin yang keluar (perdarahan).
 Pembedahan/laparatomi (untuk trauma tembus dan trauma tumpul jika terjadi rangsangan peritoneal : syok ; bising usus tidak terdengar ; prolaps visera melalui luka tusuk ; darah dalam lambung, buli-buli, rektum ; udara bebas intraperitoneal ; lavase peritoneal positif ; cairan bebas dalam rongga perut) (FKUI, 1995).

MANAJEMEN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994).
Pengkajian pasien trauma abdomen (Smeltzer, 2001) adalah meliputi :
1. Trauma Tembus abdomen
Dapatkan riwayat mekanisme cedera ; kekuatan tusukan/tembakan ; kekuatan tumpul (pukulan).
Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk, memar, dan tempat keluarnya peluru.
 Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar sehingga perubahan dapat dideteksi. Adanya bising usus adalah tanda awal keterlibatan intraperitoneal ; jika ada tanda iritasi peritonium, biasanya dilakukan laparatomi (insisi pembedahan kedalam rongga abdomen).
Kaji pasien untuk progresi distensi abdomen, gerakkan melindungi, nyeri tekan, kekakuan otot atau nyeri lepas, penurunan bising usus, hipotensi dan syok.
Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera intra-abdomen, observasi cedera yang berkaitan.
Catat semua tanda fisik selama pemeriksaan pasien.

2. Trauma tumpul abdomen
 Dapatkan riwayat detil jika mungkin (sering tidak bisa didapatkan, tidak akurat, atau salah). dapatkan semua data yang mungkin tentang hal-hal sebagai berikut :
• Metode cedera.
• Waktu awitan gejala.
• Lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir sering menderita ruptur limpa atau hati). Sabuk keselamatan digunakan/tidak, tipe restrain yang digunakan.
• Waktu makan atau minum terakhir.
• Kecenderungan perdarahan.
• Penyakit danmedikasi terbaru.
• Riwayat immunisasi, dengan perhatian pada tetanus.
• Alergi.
Lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh pasienuntuk mendeteksi masalah yang mengancam kehidupan.

PENATALAKSANAAN KEDARURATAN
1. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi) sesuai indikasi.
2. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakkan dapat menyebabkan fragmentasi bekuan pada pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi masif.
a) Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem saraf.
b) Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.
c) Gunting baju dari luka.
d) Hitung jumlah luka.
e) Tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
3. Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera abdomen, khususnya hati dan limpa mengalami trauma.
4. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan dilakukan.
a) Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendungan luka dada.
b) Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan memperbaiki dinamika sirkulasi.
c) Perhatikan kejadian syoksetelah respons awal terjadi terhadap transfusi ; ini sering merupakan tanda adanya perdarrahan internal.
d) Dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat perdarahan.
5. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi.
6. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin basah untuk mencegah nkekeringan visera.
a) Fleksikan lutut pasien ; posisi ini mencegah protusi lanjut.
b) Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik dan muntah.
7. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan pantau haluaran urine.
8. Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital, haluaran urine, pembacaan tekanan vena sentral pasien (bila diindikasikan), nilai hematokrit, dan status neurologik.
9. Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium.
10. Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritonium pada kasus luka tusuk.
a) Jahitan dilakukan disekeliling luka.
b) Kateter kecil dimasukkan ke dalam luka.
c) Agens kontras dimasukkan melalui kateter ; sinar x menunjukkan apakah penetrasi peritonium telah dilakukan.
11. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
12. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. trauma dapat menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi nosokomial).
13. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.

PENATALAKSANAAN DIRUANG PERAWATAN LANJUTAN
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994).
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) adalah :
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk.
2. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma/diskontinuitas jaringan.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.

C. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994).
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.


d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.

2. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.

3. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : - Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.

4. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil : - perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.

5. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil : - penampilan yang seimbang..
- melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
b. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
c. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
d. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
e. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.

D. EVALUASI
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma abdomen adalah :
1. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
2. Infeksi tidak terjadi / terkontrol.
3. Nyeri dapat berkurang atau hilang.
4. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
5. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.

DAFTAR PUSTAKA
Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit, Jakarta.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. EGC : Jakarta.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta
Nasrul Effendi, 1995, Pengantar Proses Keperawatan, EGC, Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8 Vol.3. EGC : Jakarta.

Rabu, 15 Juni 2011

ENSEFALOPATI HEPATIKUM



1. 1. Definisi

Ensefalopati hepatikum adalah suatu sindrom neuropsikiatri pada penderita penyakit hati berat yang ditandai dengan kekacauan mental, tremor otot, dan flapping tremor (asteriksis), yang dapat berlanjut pada keadaan koma dalam dan kematian.

2. Epidemiologi

Ensefalopati hepatikum dapat berjalan subklinis dan merupakan prevalensi terbanyak pada pasien dengan sirosis hepatis, berkisar antar 30 % hingga 88%
3. Etiologi dan Patogenesis

Patogenesis ensefalopati hingga saat ini belum diketahui secara pasti, namun Sherlock , 1989, mengemukakan konsep umum patogenesisnya yaitu ensefalopati hepatikum terjadi akibat akumulasi dari sejumlah zat neuroaktif dan kemampuan komagenik dari zat – zat tersebut dalam sirkulasi sistemik. Beberapa hipotesis yang telah dikemukakan antara lain :

1. Hipotesis amonia :

Hati merupakan organ penting dan satu – satunya yang berperan dalam detoksifikasi zat – zat berbahaya. Salah satu zat toksik yang harus dirubah hati adalah NH3 yang merupakan hasil deaminase asam amino dan perubahan akibat kerja bakteri usus yang mengandung urease terhadap protein, NH3 selanjutnya diubah menjadi urea pada sel hati periportal dan menjadi glutamine pada sel hati perivenus, sehingga jumlah ammonia yang masuk sirkulasi dikontrol dengan baik. Dalam keadaan dimana amonia tidak dimetabolisme oleh hati akibat kerusakan sel hati maupun akibat pintasan portal ke sistemik tanpa melewati hati, maka amonia yang beredar dapat menembus sawar darah otak dan mengganggu metabolisme otak. Beberapa peneliti melaporkan bahwa ammonia secara invitro akan merubah loncatan klorida melalui membrane neural dan akan mengganggu keseimbangan potensial aksi sel saraf. Selain itu, ammonia dalam proses detoksikasi akan menekan eksitasi transmitter asam amino, aspartat, dan glutamate pada sel saraf.

Ensefalopati hepatikum yang paling umum ditemukan adalah pada keadaan gagal hati kronik pada sirosis hepatis, proses yang terjadi berjalan lambat seiring dengan perjalanan penyakitnya. Varises esophagus yang rupture merupakan predisposisi utama yang meningkatkan kejadian ensefalopati hepatikum, Darah yang mengalir dalam saluran cerna berjumlah cukup banyak karena berasal dari tempat bertekanan tinggi akibat hipertensi porta, sehingga banyak pula protein globin darah yang akan metabolisme oleh bakteri usus menjadi amonia kemudian diserap oleh tubuh.



1. Hipotesis Toksisitas sinergik

Neurotransmitter lain yang mempunyai efek sinergis dengan ammonia seperti merkaptan, asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol, dan lain – lain. Merkaptan yang dihasilkan dari metionin oleh bakteri usus akan berperan menghambat NaK – ATP-ase . asam lemak rantai pendek seperti oktanoid mempunyai efek metabolic seperti gangguan oksidasi, fosforilasi, dan penghambatan konsumsi oksigen serta penekanan aktivitas NaK – ATP-ase sehingga dapat mengakibatkan ensefalopati hepatikum reversible.

Fenol sebagia hasil metabolism tirosin dan fenilalanin dapat menekan aktivitas otak dan enzim hati monoamine oksidase, laktat dehidrogenase, suksinat dehirogenase, prolin oksidase yang berpotensi dengan zat lain seperti ammonia yang mengakibatkan ensefalopati hepatikum.

Senyawa – senyawa tersebut akan memperkuat toksisitas dari ammonia.



1. Hipotesis Neurotransmitter palsu

Pada kerusakan hati, neurotranmiter otak , dopamine dan nor-adrenalin, akan diganti oleh neurotransmitter palsu seperti oktapamin dan feniletanolamin yang lebih lemah dari neurotransmitter aslinya. Keadaan ini yang akan menyebabkan ensefalopati hepatikum. Beberapa factor yang mempengaruhi adalah :

a) Pengaruh bakteri usus terhadap protein sehingga terjadi peningkatan produksi oktapamin yang melalui aliran pintas (shunt) masuk ke sirkulasi otak.

b) Penurunan asam amino rantai cabang (BCAA) yang terdiri dari valin, leusin, isoleusin yang mengakibatkan terjadinya peningkatan asam amino aromatic (AAA) seperti tirosin, fenilalanin, dan triptopan karena penurunan ambilan hati. Rasio normal BCAA : AAA (Fisischer ratio) adalah 3 – 3,5 bisa mencapai 1,0 pada gagal hati, ratio ini penting dipertahankan untuk konsentrasi neurotransmitter pada susunan saraf.



1. Hipotesis GABA dan Benzodiazepin

Ketidakseimbangan antara asam amino dari neurotransmitter yang akan merangsang dan menghambat fungsi otak akan menyebabkan ensefalopati hepatikum. Dalam hal ini terjadi penurunan neurotransmitter perangsang seperti glutamate, aspartat dan dopamine sebagai akibat meningkatnya ammonia dan gama aminobutirat (GABA) yang menghambat transmisi impuls. Efek GABa meningkat bukan akibat meningkatnyan influx otak tetapi akibat perubahan reseptor GABA oleh suatu substansi yang mirip benzodiazepine (benzodiasepin-like substances)



1. Glukagon

Tingginya glucagon berperan pada peningkatan beban nitrogen, karena hormone ini melepas asam amino aromatis dari protein hati untuk mendorong terjadinya glukoneogenesis. Kadar glucagon meningkat akibat hipersekresi atau hipometabolisme pada penyakit hati terutama jika terdapat sirkulasi kolateral.



1. Perubahan permeabilitas sawar otak

Permeabilitas sawar darah otak berubah pada pasien sirosis hepatis dekompensata, sehingga lebih mudah ditembus oleh metabolit seperti neurotoksin. Terdapat 5 proses yang terjadi di otak sebagai mekanisme EH :

1) Peningkatan permeabilitas sawar darah otak

2) Gangguan keseimbangan neurotransmitter

3) Perubahan (energy) metabolisme otak

4) Gangguan fungsi membrane neuron

5) Peningkatan “endogenous benzodiazepine” (benzodiazepine-like substance)





1. 5. Manifestasi Klinis :

Pada keadaan akut seperti pada hepatitis fulminan, ensefalopati hepatic dapat timbul dengan cepat dan berkembang menjadi koma akibat gagal hati akut. Pada penyakit sirosis, perkembangannya berlangsung lebih lambat.

a) Ensefalopati hepatikum akut (Fulminant hepatic failure)

Ditemukan pada pasien hepatitis virus akut, hepatitis toksik obat (halotan, acetaminophen), perlemakan hati akut pada kehamilan, kerusakan parenkim hati fulminan tanpa factor presipitasi. Perjalanan penyakitnya eksplosif ditandai dnegan delirium, kejang dan edem otak. Edem serebral kemungkinan akibat perubahan permeabilitas sawar otak dan inhibisi neuronal (Na+ dan K+) ATP –ase, serta perubahan osmolar karena metabolism ammonia. Dengan perawatan intensif angka kematian masih tinggi sekitar 80%.

b) Ensefalopati hepatikum kronik

Perjalanan penyakit perlahan dan dipengaruhi factor pencetus yaitu azotemia, analgetik, sedative, perdarahan gastrointestinal, alkalosis metabolic, kelebihan protein, infeksi, obstipasi, gangguan keseimbangan cairan, dan pemapakaian diuretic.



Factor pencetus ensefalopati hepatikum dan mekanisme :
Peningkatan beban nitrogen : perdarahan saluran cerna, makanan tinggi protein, azotemia, BUN meningkat, obstipasi Darah yang beredar dalam salna (10-20 g protein/dl) atau makanan tinggi protein menyediakan substrat berlebihan dalam pembentukan ammonia, kerja bakteri usus pada protein menghasilkan NH3 yang diabsorbsi. Meningkatnya BUN menyebabkan lebih banyak urea yang berdifusi dalam usus yang akan diubah menjadi NH3 oleh bakteri usus. Obstipasi meningktakan produksi dan absorbs NH3 akibat kontak yang lama antara bakteri usus dan substrat protein.
Ketidakseimbangan elektrolit : Alkalosis, hipokalemia, hipovolemia. Alkalosis dan hipokalemia sering disebabkan oleh hiperventilasi dan muntah, menyebabkan difusi NH3 dari cairan ekstrasel ke intrasel termasuk sel – sel otak yang menyebabkan efek toksik. Pada alkalosis, lebih banyak ammonia yang diproduksi dari glutamine dalam ginjal yang kembali memasuki sirkulasi sistemik daripada yang diekskresikan dalam betuk ion ammonium (NH4+) . hipovolemia (akibat perdarahan salna), pemakaian diuretic berlebihan, parasentesis dapat menyebabkan gagal ginjal dan azotemia sehingga meningkatkan ammonia dan mencetuskan EH
obat – obatan : obat diuretic, transquilizer, narkotika, sedative, anastetik Pemakaian diuretic radikal menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit: alkalosis, hipokalemia, dan hipovolemia.sehingga dihindari obat diuretic Loop yang mendeplesi kalium. Obat sedative dan obat lainnya yang mendepresi SSP bekerja sinergis dengan ammonia, diperparah dengan kerusakan hati yang mengganggu metabolism obat – obat tersebut sehingga mencetuskan EH.
Lain – lain : infeksi, pembedahan Infeksi atau pembedahan meningkatkan katabolisme jaringan, meningktakan produksi BUN dan NH3. Hipertermia, dehidrasi, gangguan fungsi ginjal berpotensi meningkatkan toksisitas NH3





Stadium ensefalopati hepatic dapat dijabarkan sebagai berikut.
Stadium 1

Predromal
sedikit perubahan kepribadian dan tingkah laku, termasuk penampilan yang tidak terawatt baik, pandangan mata kosong, bicara tidak jelas, tertawa sembarangan, pelupa, dan tidak mampu memusatkan pikiran, penderita mungkin cukup rasional, hanya terkadang tidak kooperatif atau sedikit kurang ajar, afektif hilang, eufori, depresi, apati.

Tingkat kesadaran somnolen, tidur lebih banyak dari bangun, letargi.
Tanda – tanda

Asteriksis,

kesulitan bicara,

kesulitan menulis









EEG

(+)


Stadium 2

Koma ringan
Pengendalian sfingter kurang.kedutan otot generalisata dan asteriksis merupakan temuan khas. Kebingungan, disorientasi, mengantuk Asteriksis,

fetor hepatik


(++)


Stadium 3

Koma mengancam
Terjadi kebingungan yang nyata dengan perubahan tingkah laku yang mencolok. Penderita dapat tidur sepanjang waktu, bangun hanya dengan rangsangan. Asteriksis, fetor hepatic, lengan kaku, hiperreflek, klonus, grasp dan sucking reflek. (+++)
Stadium 4

Koma dalam
Penderita masuk ke dalam tingkat kesadaran koma sehingga muncul reflex hiperaktif dan tanda babinky yang menunjukkan adanya kerusakan otak lebih lanjut. Napas penderita akan mengeluarkan bau apek yang manis (fetor hepatikum). Fetor hepatikum merupakan tanda prognosis yang buruk dan intensitas baunya sangat berhubungan dengan derajat kesadarannya. Fetor hepatic, tonus otot hilang (++++)

1. 6. Diagnosis

Diagnosis mulai ditegakkan jika telah tampak tanda – tanda Klinis berupa kekacauan tingkah laku, atau untuk kasus yang gawat, diagnosis harus ditelusuri dengan pemeriksaan amonia rutin karena perkembangan perburukan yang cepat (misalnya pada hepatitis fulminan).

Pemeriksaan fisik yang menyokong diagnosis adalah :

1. pemeriksaan tingkat kesadaran : pola tidur penderita, komunikasi dengan penderita
2. menilai fungsi kortikal penderita : berbahasa, tingkah laku.
3. Menilai tremor generalisata
4. Menilai flapping tremor : rutin dilakukan. Posisi tangan pasien lurus di sisi tubuhnya, terletak di atas tempat tidur dalam posisi tubuh berbaring, kemudian lengan pasien di fiksasi didekat pergelangan tangan, jari – jari tangan penderita diregangkan dan diekstensikan pada pergelangan tangan, kemudian minta penderita menahan tangannya dalam posisi tersebut. Tes positif terganggu jika perasat ini menyebabkan gerakan fleksi dan ekstensi involunter cepat dari pergelangan tangan dan sendi metakarpofalang (seperti gerakan kaku dan mengepak)
5. Menilai apraksia kontitusional : penderita tidak dapat menulis dan menggambar dengan baik pada penderita yang sebelumnya normal bisa menulis dan menggambar sederhana.
6. Tes Psikometri dengan Number Connection Test, untuk menilai tingkat intelektual pasien yang mungkin telah terjadi EH subklinis. Tes ini cukup mudah, sederhana dan tidak membutuhkan biaya serta dapat menilai tingkat EH pada pasien sirosis yang rawat jalan. Cara : menghubungkan angka – angka dengan berurutan dari 1 hingga 25. Interpretasi :

Normal Lama penyelesaian UHA : 15 – 30 detik
Tingkat I 31 – 50 detik
Tingkat II 51 – 80 detik
Tingkat III 81– 120 detik
Tingkat IV > 120 detik

Sanyal, 1994

1. 7. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang
1. Elektro Ensefalografi

Dengan pemerikasaan EEG terlihat peninggian amplitude dan menurunnya jumlah sikllus gelombang per detik. Terjadi penurunan frekuensi dari gelombang normal Alfa (8 – 12Hz)
Tingkat ensefalopati Frekuensi gelombang EEG: frekuensi gelombang Alfa
Tingkat 0 8,5 – 12 siklus per detik
Tingkat I 7 – 8 siklus per detik
Tingkat II 5 – 7 siklus per detik
Tingkat III 3 – 5 siklus per detik
Tingkat IV 3 siklus per detik atau negative



1. Pemeriksaan Kadar Amonia Darah

Tingkat ensefalopati Kadar ammonia darah dalam µg/dl
Tingkat 0 < 150 Tingkat 1 151 – 200 Tingkat 2 201 – 250 Tingkat 3 251 – 300 Tingkat 4 > 300

1. 8. Diagnosis Banding
1. Koma akibat intoksikasi obat – obatan dan alcohol
2. Koma akibat gangguan metabolisme lain seperti uremic ensefalopati, koma hipoglikemia, koma hiperglikemia.
2. 9. Penatalaksanaan

Terlebih dahulu harus diperhatikan apakah EH tersebut terjadi primer atau sekunder akibat factor pencetus.

Prinsip penatalaksanaan :

1) Mengobati penyakit dasar hati

Jika dasar penyakit adalah hepatitis virus, maka dilakukan terapi hepatitis virus. Jika telah terjadi sirosis berat (dekompensata) umumnya terapi ini sulit dilakukan, karena seluruh parenkim hati telah rusak dan digantikan oleh jaringan fibrotic, terapi terakhir adalah transplantasi hati.

2) Mengidentifikasi dan menghilangkan factor – factor pencetus.

3) Mengurangi produksi ammonia :

1. Mengurangi asupan protein makanan
2. Antibiotik Neomycin : adalah antibiotic yang bekerja local dalam saluran pencernaan merupakan obat pilihan untuk menghambat bakteri usus. Dosis 4x 1 – 2 g/hari (dewasa) atau dengan Rifaximin (derivate Rimycin) dosis : 1200mg per hari selama 5 hari dikatakan cukup efektif.
3. Laktulosa : berfungsi menurunkan pH feses setelah difermentasi menjadi asam organic oleh bakteri kolon. Kadar pH yang rendah menangkap NH3 dalam kolon dan merubahnnya menjadi ion ammonium yang tidak dapat diabsorbsi usus, selanjutnya ion ammonium diekskresikan dalam feses. Dosis 60 – 120 ml per hari: 30 – 50 cc per jam hingga terjadi diare ringan.
4. Lacticol (beta galaktosa sorbitol) dosis : 0,3 – 0,5 gram / hari.
5. Pengosongan usus dengan Lavement 1 – 2 kali per hari : dapat dipakai katartik osmotic seperti MgSO4 atau laveman (memakai larutan laktulosa 20% atau larutan neomysin 1 % sehingga didapat pH asam = 4 ) Membersihkan saluran cerna bagian bawah.

4) Upaya suportif III dan IV perlu perawatan supportif yang intensif : perhatikan posisi berbaring, bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, pasang kateter foley untuk balance cairan. Jika terdapat rupture varises esophagus pasang NGT untuk mengalirkan darah.

1. Penderita stadium
2. Diet tinggi kalori : jus buah atau infuse dextrose IV. 2000 kal/hari.
3. Pemberian Vit B
4. Mencegah dehidrasi : cukupkan asupan cairan (hitung balance cairan)
5. Asupan protein dikurangi atau dihentikan sementara. Stadium I –II diet rendah protein (beri nabati) 20 gram/hari. Stadium III – IV tanpa protein.Pemberian protein setelah fase kritis disesuaikan dengan klinis penderita dan ditingkatkan perlahan mulai 10 gram hingga maintenance (40 -60 gram/hari). Sumber protein utama dari asam amino rantai cabang yang diharapkan akan menyeimbangkan neurotransmitter asli dan palsu. Tujuan lainnya yaitu : 1) untuk mendapatkan energy tanpa memperberat fungsi hati. 2)mengurangi asam amino aromatic dalam darah . 3)memperbaiki sintesis katekolamin pada jaringan perifer. 4) asam amino rantai cabang dengan dekstrose hipertonik akan mengurangi hiperaminosidemia.
6. Rincian pemberian nutrisi parenteral :

- Cairan dextrose 10% atau maltose 10%

- AARC = Comafusin hepar atau campuran AAA dalam AARC (Aminoleban) : 1000cc/ hari.

1. Metildopa : 0,5 gram tiap 4 jam .
2. Hindari pemakaian sedative, jika pasien sangat gelisah dapat diberikan dimenhidrinat 50mg i.m. bila perlu diulang tiap 6-8 jam.
3. Vit K 10 – 20 mg/hari i.m. atau per oral.
4. Bromokriptin (dopamine reseptor antagonis dalam dosis 15 mg/hari dapat member perbaikan klinis, psikometrik, dan EEG (dalam taraf eksperimental)
5. Antagonis benzediazepin reseptor (flumazenil) member hasil memuaskan pada stadium I dan II (dalam taraf eksperimental)
6. 10. Prognosis

Prognosis penderita EH tergantung dari :

1. Penyakit hati yang mendasarinya
2. Faktor – faktor pencetus
3. Usia
4. Keadaan gizi
5. Derajat kerusakan parenkim hati
6. Kemampuan regenerasi hati.

Pada EH sekunder, jika faktor – faktor pencetus teratasi, umumnya 80% penderita akan kembali sadar. Pada EH primer prognosis akan diperburuk jika disertai hipoalbuminemia, ikterus, serta asites. Sementara EH akut akibat hepatisis virus fulminan kemungkinan hanya 20% yang pulih setelah dirawat pada pusat kesehatan dengan perawatan intensif yang maju.

REFERENSI

1. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi IV
2. Patofisiologi , Sylvia A. Price
3. Koma hepatikum, diakses dari http://medlinux.blogspot.com/2008/07/koma-hepatikum.html

ASKEP HEMODIALISA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TINDAKAN HEMODIALISA

I. KONSEP DASAR TINDAKAN

A. Pengertian

Dialisis adalah proses difusi partikel larut dari satu kompartemen ke kompartemen lain melewati membran semipermeabel.

Hemodialisa adalah lintasan darah melalui selang diluar tubuh ke ginjal buatan, dimana dilakukan pembuangan kelebihan zat terlarut dan cairan. Frekuensi hemodialisa bervariasi dari 2 – 3 x/minggu.

Darah yang mengandung produk sisa seperti urea dan kreatinin mengalir kedalam ginjal buatan (dialiser), tempat akan bertemu dengan dialisat yang tidak mengandung urea dan kreatinin. Aliran berulang darah melalui dialiser pada rentang kecepatan 200 – 400 ml/jam, lebih dari 2 – 4 jam, diharapkan dapat mengurangi kadar produk sisa ini menjadi keadaan yang lebih normal.


B. Tujuan

1. Membuang produk sisa metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat.

2. Membuang kelebihan air dengan mengetahui tekanan banding antara darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dan negatif (penghisap) dalam kompartemen dialisat.

3. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.

4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.


C. Indikasi

1. Gagal ginjal akut
2. Gagal ginjal kronik, bila laju filtrasi gromelurus kurang dari 5 ml/menit
3. Kalium serum lebih dari 6 mEq/l
4. Ureum lebih dari 200 mg/dl
5. PH darah kurang dari 7,1
6. Anuria berkepanjangan, lebih dari 5 hari
7. Intoksikasi obat dan zat kimia
8. Sindrom Hepatorenal


D. Bentuk / Gambaran Peralatan Yang Digunakan

1. Dialiser atau Ginjal Buatan
Terdiri dari membran semi permeabel yang memisahkan kompartemen darah dan dialisat.

2. Dialisat atau Cairan Dialisis
Yaitu cairan yang terdiri dari air dan elektrolit utama dari serum normal. Dialisat ini dibuat dalam sistem bersih dengan air kran dan bahan kimia saring. Bukan merupakan sistem yang steril, karena bakteri terlalu besar untuk melewati membran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien minimal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat menyebabkan reaksi pirogenik, khususnya pada membran permeabel yang besar, maka air untuk dialisat harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh pabrik komersildan umumnya digunakan oleh unit kronis.

3. Sistem Pemberian Dialisat
Yaitu alat yang mengukur pembagian proporsi otomatis dan alat mengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-air.

4. Aksesori Peralatan

a. Perangkat Keras, terdiri dari :
1) Pompa darah, pompa infus untuk mendeteksi heparin

2)Alat pemonitor suhu tubuh apabila terjadi ketidakamanan konsentrasi dialisat, perubahan tekanan udara dan kebocoran darah.

b. Perangkat Disposibel yang digunakan selain ginjal buatan :

1) Selang dialisis yang digunakan untuk mengalirkan darah antara dialiser dan pasien.

2) Transfer tekanan untuk melindungi alat monitor dari pemajanan terhadap darah.

3) Kantong cairan garam untuk membersihkan sistem sebelum digunakan.

5. Komponen Manusia/Pelaksana

Tenaga pelaksana hemodialisa harus mempunyai keahlian dalam menggunakan teknologi tinggi, tercapai melalui pelatihan teorits dan praktikal dalam lingkungan klinik.

Aspek yang lebih penting adalah pemahaman dan pengetahuan yang akan digunakan perawat dalam memberikan asuhan pada pasien selama dialisis berlangsung.


E. Persiapan Pra Dialisis

Tingkat dan kompleksitas masalah-masalah yang timbul selama hemodialisa akan beragam diantara pasien-pasien dan tergantung pada beberapa variabel. Untuk itu sebelum proses hemodialisa, perlu dikaji terlebih dahulu tentang :
- Diagnosa penyakit
- Tahap penyakit
- Usia
- Masalah medis lain
- Nilai laboratorium
- Keseimbangan cairan dan elektrolit
- Keadaan emosi


F. Persiapan Peralatan

1. Jarum arteri
2. Selang normal saline
3. Dialiser
4. Bilik drip vena
5. Detektor
6. Port pemberian obat
7. Pemantau tekanan arteri
8. Pompa darah
9. Sistem pengalir dialiser
10. Pemantau tekanan vena
11. Jarum vena
12. Penginfus heparin


G. Prosedur Tindakan

Akses ke sistem sirkulasi dicapai melalui salah satu dari beberapa pilihan: vistula atau tandur arteriovenosa (AV), atau kateter hemodialisis dua lumen.

Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh pompa darah. Bagian dari sirkuit disposibel sebelum dialiser diperuntukkan sebagai aliran “arterial”, keduanya untuk membedakan darah yang masuk kedalamnya sebagai darah yang belum mencapai dialiser dan dalam acuan untuk meletakkan jarum: jarum “arterial” diletakkan paling dekat dengan anastomosis AV pada fistula atau tandur untuk memaksimalkan aliran darah. Kantong cairan normal saline yang diklep selalu disambungkan ke sirkuit tetap sebelum pompa darah. Pada kejadian hipotensi, darah yang mengalir dari pasien dapat diklem sementara cairan normal saline yang diklem dibuka dan memungkinkan dengan cepat menginfus untuk memperbaiki tekanan darah. Tranfusi darah dan plasma ekspander juga dapat disambungkan ke sirkuit pada keadaan ini dan dibiarkan untuk menetes, dibantu dengan pompa darah. Infus heparin dapat diletakkan baik sebelum atau sesudah pompa darah, tergantung peralatan yang digunakan.

Dialiser adalah komponen penting selanjutnya dari sirkuit. Darah mengalir kedalam kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya pertukaran cairan dan zat sisa. Darah yang meninggalkan dialiser melewati kondektor udara dan foam yang mengklem dan menghentikan pompa darah bila terdeteksi adanya udara. Pada kondisi seperti ini, setiap obat-obat yang akan diberikan pada dialisis diberikan melalui port obar-obatan. Penting untuk diingat, bagaimanapun, bahwa kebanyakan obat-obat ditunda pemberiannya sampai dialisis selesai kecuali memang diperintahkan harus diberikan.

Darah yang telah melewati dialisis kembali ke pasien melalui “venosa” atau selang Posdialiser. Setelah waktu tindakan yang dijadwalkan, dialisis diakhiri dengan mengklem darah dari pasien, membuka slang cairan normal saline, dan membilas sirkuit untuk mengembalikan darah pasien. Selang dan dialiser dibuang, meskipun program dialisis kronik sering membeli peralatan untuk membersihkan dan menggunakan ulang dialiser.

Tindakan kewaspadaan umum harus diikuti dengan teliti sepanjang tindakan dialisis karena pemajanan terhadap darah. Masker pelindung wajah dan sarung tangan wajib digunakan oleh tenaga pelaksana hemodialisa.


H. Interpretasi Hasil

Hasil hemodialisa dapat dinilai dengan mengkaji jumlah cairan yang dibuang dan koreksi gangguan elektrolit dan asam basa.


I. Komplikasi

1) Ketidakseimbangan Cairan
a. Hipervolemia
Temuan berikut ini mengisyaratkan adanya kelebihan cairan seperti tekanan darah naik, peningkatan nadi, dan frekuensi pernafasan, peningkatan tekanan vena sentral, dispnea, batuk, edema, penambahan BB berlebih sejak dialysis terakhir

b. Hipovolemia
Petunjuk terhadap hipovolemia meliputi penurunan TD, peningkatan frekuensi nadi, pernafasan, turgor kulit buruk, mulut kering, tekanan vena sentral menurun, dan penurunan haluaran urine. Riwayat kehilangan banyak cairan melalui lambung yang menimbulkan kehilangan BB yang nantinya mengarah ke diagnosa keperawatan kekurangan cairan.

c. Ultra filtrasi
Gejala ultrafiltarasi berlebihan adalah mirip syok dengan gejala hipotensi, mual muntah, berkeringat, pusing dan pingsan.

d. Rangkaian ultrafiltrasi (Diafiltrasi)
Ultrafiltrasi cepat untuk tujuan menghilangkan atau mencegah hipertensi, gagal jantung kongestif, edema paru dan komplikasi lain yang berhubungan dengan kelebihan cairan seringkali dibatasi oleh toleransi pasien untuk memanipulasi volume intravaskular.

e. Hipotensi
Hipotensi selama dialysis dapat disebabkan oleh hipovolemia, ultrafiltrasi berlebihan, kehilangan darah ke dalam dialiser, inkompatibilitas membran pendialisa, dan terapi obat antihipertensi

f. Hipertensi
Penyebab hipertensi yang paling sering adalah kelebihan cairan, sindrom disequilibrium, respon renin terhadap ultrafiltrasi, dan ansites.

g. Sindrome disequilibrium dialisis
Dimanifestasikan olehh sekelompok gejala yang diduga disfungsiserebral dengan rentang dari mual muntah, sakit kepala, hipertensi sampai agitasi, kedutan, kekacauan mental, dan kejang.

2) Ketidakseimbangan Elektrolit
Elektrolit merupakan perhatian utama dalam dialisis, yang normalnya dikoreksi selama prosedur adalah natrium, kalium, bikarbonat, kalisum, fosfor, dan magnesium.

3) Infeksi
Pasien uremik mengalami penurunan resisten terhadap infeksi, yang diperkirakan karena penurunan respon imunologik. Infeksi paru merupakan penyebab utama kematian pada pasein uremik.

4) Perdarahan dan Heparinisasi
Perdarahan selama dialysis mungkin karena konsidi medik yang mendasari seperti ulkus atau gastritis atau mungkin akibat antikoagulasi berlebihan. Heparin adalah obat pilihan karena pemberiannya sederhana, meningkatkan masa pembekuan dengan cepat, dimonitor dengan mudah dan mungkin berlawanan dengan protamin.


J. Permasalahan Yang Sering Dihadapi

1. Masalah peralatan
a) Konsentrasi dialisat
Perubahan mendadak atau cepat dalam konsentrasi dialisat dapat mengakibatakan kerusakan sel darah dan kerusakan serebral. Gejala ringan seperti mual muntah, dan sakit kepala. Pada kasus berat dapat mengakibatkan koma, kekacauan mental dan kematian.

b) Aliran dialisat
Aliran yang tidak mencukupi tidak akan membahayakn pasien tetapi akan mengganggu efisiensi dialysis.

c) Temperatur
Suhu harus dipertahankan pada 36,7 – 38,3 C

d) Aliran darah
Faktor yang mempengaruhi adalah tekanan darah, fistula dan fungsi kateter, serta sirkuit ektrakoporeal.

e)Kebocoran darah

f) Emboli udara


II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN ( Diambil dari Doenges, Marillyn E. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta; EGC, 1999 )


DIAGNOSA KEPERAWATAN: CEDERA, RESIKO TINGGI TERHADAP, KEHILANGAN AKSES VASKULER

Faktor Resiko Meliputi : Pembekuan; perdarahan karena lepasnya sambungan secara tidak sengaja

Kemungkinan dibuktikan oleh : (tidak dapat diterapkan ; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual)

Tujuan / Kriteria Hasil : Mempertahankan jalan masuk vaskuler paten

TINDAKAN / INTERVENSI

Mandiri:
Pembekuan:
1. Awasi potensi aliran AV internal pada interval sering : Palpasi getaran distal ;
RASIONAL: Getaran disebabkan oleh turbulen darah arterial tekanan aliran yang masuk ke sistem tekanan vena yang lebih rendah dan harus dipalpasi di atas sisi keluarnya vena.

2. Auskultasi untuk desiran;
RASIONAL: Desiran adalah bunyi yang yang disebabkan oleh turbulen aliran darah yang masuk ke sistem vena dan harus terdengar dengan stetoskop, meskipun mungkin sangat redup.

3. Perhatikan warna darah dan / atau pemisahan sel dan Serum sebelumnya.
RASIONAL: Perubahan warna dari merah sedang sampai merah gelap keunguan menunjukan aliran darah lembam / pembekuan dini. Pemisahan dalam selang indikatif pembekuan. Darah merah gelap kemudian cairan kuning jernih menunjukan pembentukan bekuan lengkap.

4. Palpasi kulit pirau untuk kehangatan.
RASIONAL: Penurunan aliran darah akan mengakibatkan “ kedinginan” pada pirau.

5. Beritahu dokter dan / atau lakukan prosedur penghilangan pembekuan bila terdapat bukti kehilangan potensi pirau.

RASIONAL: Intervensi cepat dapat mengamankan jalan masuk; namun penghilangan pembekuan harus dilakukan oleh petugas berpengalaman.

6. Evaluasi keluhan nyeri, kebas / kesemutan; perhatikan pembengkakan ekstremitas distal pada jalan masuk.
RASIONAL: Mengindikasikan ketidak adekuatan suplai darah. Menurunkan risiko pembekuan / pemutusan.

7. Hindari trauma pada pirau ; contoh menangani selang dengan perlahan, pertahankan posisi kanula. Batasi aktivitas ekstremitas. Hindari mengukur TD atau mengambil darah dari ekstremitas yang ada pirau. Instruksikan pasien tidak tidur atau membawa beban, buku, dompet pada ektremitas yang sakit.
RASIONAL: Dari beberapa bukti yang didapati pada pemeriksaan, dapat dengan segera tindakan/intervensi penanggulangan selanjutnya.

Perdarahan:
8. Pasang dua klem kanula pada balutan pirau, sediakan torniket. Bila kanula terpisah, klem pertama pada arteri kemudian kanula vena. Bila selang lepas dari vena, klem kanula yang masih ditempatnya lakukan tekanan langsung pada sisi perdarahan. Pasang torniket diatasnya atau kembangkan balon pada tekanan diatas TD sistolik pasien.
RASIONAL: Mencegah kehilangan darah masif bila kanula terpisah atau pirau berubah posisi sambil menunggu bantuan medik.

Infeksi :
9. Kaji kulit sekitar akses vaskuler, perhatikan kemerahan, pembengkakan, hangat lokal, eksudat, nyeri tekan.
RASIONAL: Tanda infeksi lokal, dapat menjadi sepsis bila tak diatasi.

10. Hindari kontaminasi pada sisi akses. Gunakan teknik aseptik dan masker bila memberikan perawatan pirau, mengganti balutan, dan bila melakukan proses dialisa.
RASIONAL: Tanda infeksi / sepsis yang memerlukan intervensi medik cepat

11. Awasi suhu. Perhatikan adanya demam, mengigil, hipotensi.
RASIONAL: Menentukan adanya patogen.

Kolaborasi:
12. Contoh kultur sisi/ darah sampel sesuai indikasi.
RASIONAL: Infus pada sisi arterial filter untuk mencegah pembekuan pada filter tanpa efek samping sistemik.

13. Berikan obat sesuai indikasi, contoh : Heparin (dosis rendah); Antibiotik (sistemik dan / atau topikal)
RASIONAL: Pengobatan cepat infeksi dapat mengamankan jalan masuk, mencegah sepsis


DIAGNOSA KEPERAWATAN: KEKURANGAN VOLUME CAIRAN, RISIKO TINGGI TERHADAP

Faktor Resiko Meliputi : Ultrafiltrasi, Pembatasan cairan; kehilangan darah aktual (heparinisasi sistemik atau pemutusan aliran)

Kemungkinan dibuktikan oleh : (tidak dapat diterapkan ; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual)

Tujuan / Kriteria Hasil : Mempertahankan keseimbangan cairan dibuktikan oleh berat badan dan tanda vital stabil, turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada perdarahan

TINDAKAN / INTERVENSI

Mandiri:
1. Ukur sama sumber pemasukan dan pengeluaran. Lakukan ini tiap hari.
RASIONAL: Membantu mengevaluasi status cairan, khususnya bila dibandingkan dengan berat badan. Catatan : Haluaran urine adalah evaluasi tidak akurat dari fungsi ginjal pada pasien dialisa. Beberapa orang menunjukan haluaran urine dengan sedikit klirens toksin ginjal, yang lain menunjukan oliguria atau anuria.

2. Timbang tiap hari sebelum/ sesudah dialisa dilakukan.
RASIONAL: Penurunan berat badan waktu pengukuran dengan tepat adalah pengukuran ultrafiltrasi dan pembuangan cairan.

3. Awasi TD, nadi, dan tekanan hemodinamik bila tersedia selama dialisa.
RASIONAL: Hipotensi, takikardia, penurunan tekanan hemodinamik menunjukan kekurangan cairan.

4. Pastikan kontinuitas kateter pirau / akses.
RASIONAL: Terputusnya pirau / akses terbuka akan memungkinkan eksanguinasi.

5. Lakukan balutan eksternal pirau. Jangan izinkan suntikan pada pirau.
RASIONAL: Meminimalkan stres pada pemasukan kanula untuk menurunkan perubahan posisi yang kurang hati-hati dan perdarahan pada sisi tersebut.

6. Tempatkan pasien pada posisi telentang / trandelenburg sesuai kebutuhan.
RASIONAL: Memaksimalkan aliran balik vena bila terjadi hipotensi.

7. Kaji adanya perdarahan terus menerus atau perdarahan besar pada sisi akses, membran mukosa, insisi / luka. Hematemesis / guaiak feses, drainase gaster.
RASIONAL: Heparinisasi sistemik selama dialisa meningkatkan waktu pembekuan dan menempatkan pasien pada resiko perdaahan, khususnya selama 4 jam pertama setelah prosedur.

Kolaborasi:
8. Awasi pemerikasaan laboratorium sesuai indikasi :

- Hb/Ht ;
RASIONAL: Menurun karena anemia , hemodilusi, atau kehilangan darah aktual.

- Elektrolit serum dan pH;
RASIONAL: Ketidakseimbangan dapat memerlukan perubahan dalam cairan dialisa atau tambahan pengganti untuk mencapai keseimbangan.

- Waktu pembekuan, contoh ACT. PT/PTT, dan jumlah trombosit.
RASIONAL: Penggunaan heparin untuk mencegah pembekuan pada aliran darah dan hemofilter mengubah koagulasi dan potensial perdarahan aktif.

9. Berikan cairan IV (contoh garam faal) / volume ekspander (contoh albumin) selama dialisa sesuai indikasi:
RASIONAL: Cairan garam faal / dekstrosa, elektrolit, dan NaHCO3 mungkin diinfuskan dalam sisi vena hemofolter CAV bila kecepatan ultra filtrasi tinggi digunakan untuk membuang cairan ekstraseluler dan cairan toksik. Volume ekspander mugkin dibutuhkan selama / setelah hemodialisa bila terjadi hipotensi tiba-tiba/ nyata.

10. Darah / kemasan SDM bila diperlukan.
RASIONAL: Destruksi SDM (hemolisis) oleh dialisa mekanika, kehilangan perdarahan, menurunkan produksi SDM dapat mengakibatkan anemia berat/progresif.

11. Penurunan kecepatan ultrafiltrasi selama dialisa sesuai indikasi.
RASIONAL: Menurunkan jumlah air selama dibuang dan dapat memperbaiki hipotensi/hipovolemia.

12. Berikan protamin sulfat bila diindikasikan.
RASIONAL: Mungkin dilakukan untuk mengembalikan waktu pembekuan ke normal atau bila terjadi pelepasan heparin (sampai 16 jam setelah hemodialisasi).


DIAGNOSA KEPERAWATAN: VOLUME CAIRAN, KELEBIHAN, RISIKO TINGGI TERHADAP

Faktor Resiko Meliputi : Pemasukan cairan cepat /berlebihan ; IV, darah, plasma ekspande, garam faal diberikan untuk mendukung TD selama dialisa.

Kemungkinan dibuktikan oleh : (Tidak dapat diterapkan adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual).

Tujuan / Kriteria Hasil : Mempertahankan “berat badan kering “ dalam batas normal pasien edema,” bunyi nafas jelas dan kadar natrium dalam batas normal.

TINDAKAN / INTERVENSI

Mandiri:
1. Ukur semua sumber pemasukan dan pengeluaran. Timbang dengan rutin.
RASIONAL: Membantu mengevaluasi status cairan khususnya bila dibandingkan dengan berat badan. Peningkatan berat badan antara pengobatan harus tidak lebih dari 0,5 kg/hari.

2. Awasi TD, nadi.
RASIONAL: Hipertensi dan takikardia antara hemodialisis dapat diakibatkan oleh kelebihan cairan dan / atau gagal jantung.

3. Perhatikan adanya edema perifer/sakral. Pernapasan gemericik, dispnea, ortopnea, distensi vena leher, perubahan EKG menunjukan hipertrofi ventrikel.
RASIONAL: Kelebihan cairan karena tidak efisennya dialisa atau hipervolemia berulang diantara pengobatan dialisa apat menyebabkan /eksaserbasi gagal jantung, seperti diindikasi oleh tanda / gejala kongesti vena sistemik dan / atau pernafasan.

4. Perhatikan perubahan mental.
RASIONAL: Kelebihan cairan /hipervolemia, berpotensi untuk edema serebral (sindrom disekuilibrium).

Kolaborasi:
5. Awasi kadar natrium serum. Batasi pemasukan natrium sesuai indikasi.
RASIONAL: Kadar natrium tinggi dihubungkan dengan kelebihan cairan, edema, hipertensi, dan komplikasi jantung,

6. Batasi pemasukan peroral cairan indikasi, pemberian jangka waktu memungkinkan cairan sepanjang periode 24 jam.
RASIONAL: Hemodialisa intermiten mengakibatkan retensi /kelebihan cairan antara prosedur dan dapat memerlukan pembatasan cairan. Jarak cairan membantu mengurangi haus.

Senin, 13 Juni 2011

Askep Diabetes Mekitus

DIABETES MELLITUS
A. Pengertian
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).

B. Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut :
1. Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)
2. Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)
3. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
4. Diabetes mellitus gestasional (GDM)

C. Etiologi
1. Diabetes tipe I:
a. Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.
b. Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.
2. Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga

D. Patofisiologi/Pathways

E. Tanda dan Gejala
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.

Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan adalah :
1. Katarak
2. Glaukoma
3. Retinopati
4. Gatal seluruh badan
5. Pruritus Vulvae
6. Infeksi bakteri kulit
7. Infeksi jamur di kulit
8. Dermatopati
9. Neuropati perifer
10. Neuropati viseral
11. Amiotropi
12. Ulkus Neurotropik
13. Penyakit ginjal
14. Penyakit pembuluh darah perifer
15. Penyakit koroner
16. Penyakit pembuluh darah otak
17. Hipertensi

Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut.

Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.
Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral tampak lebih jelas.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Glukosa darah sewaktu
2. Kadar glukosa darah puasa
3. Tes toleransi glukosa

Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM
Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa darah sewaktu
- Plasma vena
- Darah kapiler
Kadar glukosa darah puasa
- Plasma vena
- Darah kapiler
<>
<80
<110
<90
100-200
80-200
110-120
90-110
>200
>200
>126
>110

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :
1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl

G. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :
1. Diet
2. Latihan
3. Pemantauan
4. Terapi (jika diperlukan)
5. Pendidikan

H. Pengkajian
- Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
- Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
- Aktivitas/ Istirahat :
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.

- Sirkulasi
Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah
- Integritas Ego
Stress, ansietas
- Eliminasi
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare
- Makanan / Cairan
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus, penggunaan diuretik.
- Neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan penglihatan.
- Nyeri / Kenyamanan
Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)
- Pernapasan
Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)
- Keamanan
Kulit kering, gatal, ulkus kulit.

I. Masalah Keperawatan
1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan
2. Kekurangan volume cairan
3. Gangguan integritas kulit
4. Resiko terjadi injury

J. Intervensi
1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
- Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
- Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
Intervensi :
- Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.
- Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien.
- Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.
- Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral.
- Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan indikasi.
- Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala.
- Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.
- Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.
- Kolaborasi dengan ahli diet.

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.
Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.

Intervensi :
- Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik
- Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul
- Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas
- Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
- Pantau masukan dan pengeluaran
- Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung
- Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.
- Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur
- Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K)

3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer).
Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan.
Kriteria Hasil :
Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan tidak terinfeksi
Intervensi :
- Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge, frekuensi ganti balut.
- Kaji tanda vital
- Kaji adanya nyeri
- Lakukan perawatan luka
- Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi.
- Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.



4. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan
Tujuan : pasien tidak mengalami injury
Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengalami injury
Intervensi :
- Hindarkan lantai yang licin.
- Gunakan bed yang rendah.
- Orientasikan klien dengan ruangan.
- Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
- Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi

DAFTAR PUSTAKA

Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani, Jakarta:EGC, 1997.

Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999.

Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih, Jakarta : EGC, 1997.

Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.

Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.

Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2002
Sumber:http://www.ilmukeperawatan.com

Senin, 06 Juni 2011

gangguan bahasa (mutisme)

vBAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah bentuk aturan atau sistem lambang yang digunakan anak dalam berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungannya yang dilakukan untuk bertukar gagasan, pikiran dan emosi. Bahasa bisa diekspresikan melalui bicara mengacu pada simbol verbal. Selain itu bahasa dapat juga diekspresikan melalui tulisan, tanda gestural dan musik. Bahasa juga dapat mencakup aspek komunikasi nonverbal seperti gestikulasi, gestural atau pantomim.
Gangguan bicara dan bahasa adalah salah satu penyebab gangguan perkembangan yang paling sering ditemukan pada anak. Keterlambatan bicara adalah keluhan utama yang sering dicemaskan dan dikeluhkan orang tua kepada dokter. Gangguan ini semakin hari tampak semakin meningkat pesat.
Laki-laki diidentifikasi memiliki gangguan bicara dan bahasa hampir dua kali lebih banyak daripada wanita. Menurut penelitian anak dengan riwayat sosial ekonomi yang lemah memiliki insiden gangguan bicara dan bahasa yang lebih tinggi daripada anak dengan riwayat sosial ekonomi menengah ke atas.
Studi Cochrane terakhir telah melaporkan data keterlambatan bicara, bahasa dan gabungan keduanya pada anak usia prasekolah dan usia sekolah. Prevalensi keterlambatan perkembangan bahasa dan bicara pada anak usia 2 sampai 4,5 tahun adalah 5-8%, prevalensi keterlambatan bahasa adalah 2,3-19%. Sebagian besar studi melaporkan prevalensi dari 40% sampai 60%.
Prevalensi keterlambatan perkembangan berbahasa di Indonesia belum pernah diteliti secara luas. Kendalanya dalam menentukan kriteria keterlambatan perkembangan berbahasa. Data di Departemen Rehabilitasi Medik RSCM tahun 2006, dari 1125 jumlah kunjungan pasien anak terdapat 10,13% anak terdiagnosis keterlambatan bicara dan bahasa.
Penelitian Wahjuni tahun 1998 di salah satu kelurahan di Jakarta Pusat menemukan prevalensi keterlambatan bahasa sebesar 9,3% dari 214 anak yang berusia bawah tiga tahun.


B.     Tujuan
Untuk mengetahui fisiologi bicara, fisiologi pendengaran, etiologi, pemeriksaan penunjang dan deteksi dini delayed speech.

  
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Fisiologi Bicara
Menurut beberapa ahli komunikasi, bicara adalah kemampuan anak untuk berkomunikasi dengan bahasa oral (mulut) yang membutuhkan kombinasi yang serasi dari sistem neuromuskular untuk mengeluarkan fonasi dan artikulasi suara. Proses bicara melibatkan beberapa sistem dan fungsi tubuh, melibatkan sistem pernapasan, pusat khusus pengatur bicara di otak dalam korteks serebri, pusat respirasi di dalam batang otak dan struktur artikulasi, resonansi dari mulut serta rongga hidung.
Terdapat 2 hal proses terjadinya bicara, yaitu proses sensoris dan motoris. Aspek sensoris meliputi pendengaran, penglihatan, dan rasa raba berfungsi untuk memahami apa yang didengar, dilihat dan dirasa. Aspek motorik yaitu mengatur laring, alat-alat untuk artikulasi, tindakan artikulasi dan laring yang bertanggung jawab untuk pengeluaran suara.
Di dalam otak terdapat 3 pusat yang mengatur mekanisme berbahasa, dua pusat bersifat reseptif yang mengurus penangkapan bahasa lisan dan tulisan serta satu pusat lainnya bersifat ekspresif yang mengurus pelaksanaan bahsa lisan dan tulisan. Ketiganya berada
di hemisfer dominan dari otak atau sistem susunan saraf pusat.
Kedua pusat bahasa reseptif tersebut adalah area 41 dan 42 disebut area wernick, merupakan pusat persepsi auditoro-leksik yaitu mengurus pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa lisan (verbal). Area 39 broadman adalah pusat persepsi visuo-leksik yang mengurus pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang bersangkutan dengan bahasa tulis. Sedangkan area Broca adalah pusat bahasa ekspresif. Ketiga pusat tersebut berhubungan satu sama lain melalui serabut asosiasi.

B.     Fisiologi Pendengaran
Saat mendengar pembicaraan maka getaran udara yang ditimbulkan akan masuk melalui lubang telinga luar kemudian menimbulkan getaran pada membrane timpani. Dari sini rangsangan diteruskan oleh ketiga tulang kecil dalam telinga tengah ke telinga bagian dalam. Di telinga bagian dalam terdapat reseptor sensoris untuk pendengaran yang disebut Coclea. Saat gelombang suara mencapai coclea maka impuls ini diteruskan oleh saraf VIII ke area pendengaran primer di otak diteruskan ke area wernick. Kemudian jawaban diformulasikan dan disalurkan dalam bentuk artikulasi, diteruskan ke area motorik di otak yang mengontrol gerakan bicara.
Selanjutnya proses bicara dihasilkan oleh getaran vibrasi dari pita suara yang dibantu oleh aliran udara dari paru-paru, sedangkan bunyi dibentuk oleh gerakan bibir, lidah dan palatum (langit-langit). Jadi untuk proses bicara diperlukan koordinasi sistem saraf motoris dan sensoris dimana organ pendengaran sangat penting.

Proses reseptif – Proses dekode
Segera saat rangsangan auditori diterima, formasi retikulum pada batang otak akan menyusun tonus untuk otak dan menentukan modalitas dan rangsang mana yang akan diterima otak. Rangsang tersebut ditangkap oleh talamus dan selanjutnya diteruskan ke area korteks auditori pada girus Heschls, dimana sebagian besar signal yang diterima oleh girus ini berasal dari sisi telinga yang berlawanan.
Girus dan area asosiasi auditori akan memilah informasi bermakna yang masuk. Selanjutnya masukan linguistik yang sudah dikode, dikirim ke lobus temporal kiri untuk diproses. Sementara masukan paralinguistik berupa intonasi, tekanan, irama dan kecepatan masuk ke lobus temporal kanan. Analisa linguistik dilakukan pada area Wernicke di lobus temporal kiri. Girus angular dan supramarginal membantu proses integrasi informasi visual, auditori dan raba serta perwakilan linguistik. Proses dekode dimulai dengan dekode fonologi berupa penerimaan unit suara melalui telinga, dilanjutkan dengan dekode gramatika. Proses berakhir pada dekode semantik dengan pemahaman konsep atau ide yang disampaikan lewat pengkodean tersebut.

Proses ekspresif – Proses encode
Proses produksi berlokasi pada area yang sama pada otak. Struktur untuk pesan yang masuk ini diatur pada area Wernicke, pesan diteruskan melalui fasikulus arkuatum ke area Broca untuk penguraian dan koordinasi verbalisasi pesan tersebut. Signal kemudian melewati korteks motorik yang mengaktifkan otot-otot respirasi, fonasi, resonansi dan artikulasi. Ini merupakan proses aktif pemilihan lambang dan formulasi pesan. Proses enkode dimulai dengan enkode semantik yang dilanjutkan dengan enkode gramatika dan berakhir pada enkode fonologi. Keseluruhan proses enkode ini terjadi di otak/pusat pembicara.
Di antara proses dekode dan enkode terdapat proses transmisi, yaitu pemindahan atau penyampaian kode atau disebut kode bahasa. Transmisi ini terjadi antara mulut pembicara dan telinga pendengar. Proses decode-encode diatas disimpulkan sebagai proses komunikasi. Dalam proses perkembangan bahasa, kemampuan menggunakan bahasa reseptif dan ekspresif harus berkembang dengan baik.

Bagan Kemampuan Bicara

C.    Etiologi
Penyebab Gangguan Bicara dan Bahasa menurut Blager BF.
Penyebab
Efek Pada Perkembangan Bicara
1.    Lingkungan

a.   Sosial ekonomi kurang
a.    Terlambat
b.  Tekanan keluarga
b.    Gagap
c.   Keluarga bisu
c.    Terlambat pemerolehan bahasa
d.  Dirumah menggunakan bahasa
d.   Terlambat pemerolehan struktur bahasa bilingual
2.    Emosi

a.       Ibu yang tertekan
a.       Terlambat pemerolehan bahasa
b.      Terlambat atau gangguan
b.      Gangguan serius pada orang tua
c.       Gangguan serius pada anak
c.       Terlambat atau gangguan perkembangan bahasa
3.    Masalah pendengaran

a.       Kongenital
a.       Terlambat atau gangguan bicara permanen
b.      Didapat
b.      Terlambat atau gangguan bicara permanen
4.    Perkembangan terlambat

a.       Perkembangan lambat
a.       Terlambat bicara
b.      Retardasi mental
b.      Pasti terlambat bicara
5.    Cacat bawaan

a.       Palatoschizis
a.       Terlambat dan terganggu kemampuan bicara
b.      Sindrom Down
b.      Kemampuan bicaranya lebih rendah
6.    Kerusakan otak

a.       Kelainan neuromuscular
a.        Mempengaruhi kemampuan menghisap,

menelan, mengunyah dan akhirnya timbul

gangguan bicara dan artikulasi seperti disartria
b.      Kelainan sensorimotor
b.        Mempengaruhi kemampuan menghisap,

menelan, akhirnya menimbulkan gangguan

artikulasi, seperti dispraksia
c.       Palsi serebral
c.        Berpengaruh pada pernapasan, makan

dan timbul juga masalah artikulasi yang

dapat mengakibatkan disartria dan

dispraksia
d.      Kelainan persepsi
d.       Kesulitan membedakan suara, mengerti

bahasa, simbolisaasi, mengenal konsep,

akhirnya menimbulkan kesulitan belajar

di sekolah

 Dalam literatur lain, disebutkan beberapa penyebab keterlambatan bicara dan berbahasa yang terlihat pada tabel di bawah ini :

Penyebab


Kemampuan

Bahasa
Bahasa
pemecahan
Pola
reseptif
ekspresif
masalah
perkembangan


visuomotor

Keterlambatan
Normal

Kurang normal
Normal
Hanya ekspresif
fungsional


yang terganggu
Gangguan
Kurang normal
Kurang normal
Normal
Disosiasi
pendengaran




Redartasi
Kurang normal
Kurang normal
Kurang normal
Keterlambatan
mental



global
Gangguan
Kurang normal
Kurang normal
Normal
Disosiasi,
komunikasi



deviansi
sentral




Kesulitan
Normal,
Normal
Normal,
Disosiasi
belajar
Kurang normal

Kurang normal

Autis
Kurang normal
Normal,
Tampaknya
Disosiasi,


Kurang normal
normal, normal,
deviansi



selalu lebih baik




dari bahasa

Mutisme elektif
Normal
Normal
Normal,




Kurang normal


   
D.    Patofisiologi
  E.     Pemeriksaan Penunjang
1.      TES BERA (Brainstem Evoked Response Auditory) atau ABR (Auditory Brainstem Response
Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga (telinga luar) sampai ke otak. Cara kerjanya dengan memberikan bunyik klik pada frekuensi yang berbeda–beda pada tingkat kekerasan yang berbeda–beda pula responnya ditangkap langsung oleh sensor di otak. Tesnya tidak menyakitkan (un-invasive), tidak perlu respon aktif dari pasien dan hasilnya menyeluruh. Tes ini adalah tes paling umum dalam mendeteksi gangguan pendengaran.

2.      TES OAE (Oto Acoustic Emission).
Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai rumah siput tetapi terutama rumah siput. Cara kerjanya dengan memberikan nada murni ke telinga dan menangkap responnya melalui perubahan tekanan di saluran telinga. Tesnya juga tidak menyakitkan dan tidak memerlukan respon aktif dari pasien serta obyektif. Biasanya digunakan untuk mendeteksi gangguan pendengaran khususnya akibat gangguan di telinga tengah karena OME, OMA atau sensorinerual hearing loss (SNHL) yaitu kerusakan sel saraf di rumah siput.

3.      Tes Tympanometri
Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai telinga tengah (tulang sanggurdi). Caranya mirip dengan OAE tapi responnya dari defleksi (perubahan gerak) gendang telinga. Tesnya juga tidak menyakitkan, obyektif dan tidak perlu respon aktif dari pasien. Biasanya digunakan untuk mengeliminasi kemungkinan gangguan telinga tengah jika hasil OAE menunjukkan respon negatif.

4.      Tes Audiometri
Pemeriksaan audiometri memerlukan : audiometer, ruang kedap suara, dan pasien yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang adalah :
a.       Audiometri nada murni
b.      Audiometri tutur
Audiometri nada murni adalah tes dasar untuk mengetahui ada tidaknya gangguan pendengaran. Selama tes, orang yang dites akan mendengar nada murni yang diberikan pada frekwensi yang berbeda melalui sebuah headphone atau ear phone. Intensitas nada berangsur-angsur dikurangi sampai ambang dengar, titik dimana suara terkecil yang dapat didengar akan diketahui. Hasilnya ditunjukkan dalam desibel (dB) dan dimasukkan ke bentuk audiogram.
Caranya dengan memberikan nada murni baik melalui earphone (direct to ear) ataupun speaker (free field test) dan meminta respon balik dari pasien apakah bunyi terdengar atau tidak. Tesnya tidak menyakitkan namun agak subyektif dan memerlukan respon aktif dari pasien. Cukup sulit dilakukan khususnya untuk anak-anak.
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien pada stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekwensi yang berbeda-beda. Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik berada diatas. Grafiknya terdiri dari skala desibel. Suara dipresentasikan dengan earphone (air conduction) dan skull vibrator (bone conduction).
Bila terjadi air bone gap maka mengindikasikan adanya CHL. Turunnya nilai ambang pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL.
Untuk anak–anak biasanya dilakukan “Play Audiometri” yaitu uji pendengaran dengan bermain dan diperlukan audiologist yang berpengalaman untuk mendapatkan hasil yang baik. Biasanya untuk menguji kemajuan/kemunduran fungsi pendengaran terutama pada pasien gangguan pendengaran.
Sedangkan pada audiometric tutur dites seberapa banyak kemampuan mengerti percakapan pada intensitas yang berbeda. Tes terdiri dari sejumlah kata-kata tertentu yang diberikan melalui headphone atau pengeras suara free field. Kata-kata tersebut harus diulangi oleh orang yang dites. Setelah selesai, persentase berapa kata yang dapat diulang dengan benar dapat diketahui.

5.      TES ASSR (Auditory Steady State Response).
Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga sampai ke otak. Cara kerjanya seperti BERA tapi yang diberikan adalah nada murni seperti layaknya tes audiometri. Namun tidak diperlukan partisipasi aktif dari pasien karena respon langsung dicatat oleh sensor yang menangkap aktifitas otak. Tes ini tidak menyakitkan dan tidak memerlukan respon aktif namun pasien harus diam dan tenang dalam waktu yang cukup
lama, kurang lebih 1 jam.
Seringkali dianjurkan agar pasien ditidurkan atau diberi obat tidur jika memang sulit, diminta untuk tetap tenang dan diam. Digunakan untuk mendeteksi gangguan pendengaran pada bayi dan anak - anak yang masih kecil.

F.     Deteksi Dini Delay Speech
Semakin dini kita mendeteksi kelainan atau gangguan tersebut maka semakin baik pemulihan gangguan tersebut. Semakin cepat diketahui penyebab gangguan bicara dan bahasa pada maka semakin cepat stimulasi dan intervensi dapat dilakukan pada anak tersebut. Deteksi dini gangguan bicara dan bahsa ini harus dilakukan oleh semua individu yang terlibat dalam penanganan anak ini, mulai dari orang tua, keluarga, dokter kandungan yang merawat sejak kehamilan dan dokter anak yang merawat anak tersebut.
Ada beberapa tahap bicara yang sebaiknya diperhatikan orangtua, dijabarkan sebagai berikut :
Usia
Kemampuan
0-1 bulan
Respons bayi saat mendengar suara dengan melebarkan

mata atau perubahan irama pernafasan atau kecepatan

menghisap susu
2-3 bulan
Respons bayi dengan memperhatikan dan mendengar orang

yang sedang bicara
4 bulan
Menoleh atau mencari suara orang yang namanya dipanggil
6-9 bulan
Babbling (mengucapkan satu suku kata), mengerti bila

namanya disebut
9 bulan
Mengerti arti kata "jangan"
10-12 bulan
Imitasi suara, mengucapkan mama/papa dari tidak berarti

sampai berarti kadang meniru 2-3 kata. Mengerti perintah

sederhana seperti "Ayo berikan pada saya"
13-15 bulan
Perbendaharaan 4-7 kata, 20% bicara mulai dimengerti

orang lain
16-18 bulan
Perbendaharan 10 kata, beberapa ekolalia (meniru kata yang

diucapkan orang lain), 25% dapat dimengerti orang lain
22-24 bulan
Perbendaharan 50 kata, kalimat 2 kata, 75% dapat

dimengerti orang lain
2-2,5 tahun
Perbendaharan > 400 kata, termasuk nama, kalimat 2-3

kata, mengerti 2 perintah sederhana sekaligus
3-4 tahun
Kalimat dengan 3-6 kata ; bertanya, bercerita, berhubungan

dengan pengalaman, hampir semua dimengerti orang lain
4-5 tahun
Kalimat degan 6-8 kata, menyebut 4 warna, menghitung

sampai 10


























Untuk memudahkan orangtua ada beberapa tahap bicara yang dapat dijadikan parameter. Seperti telah dijelaskan bahwa semakin dini diketahui adanya gangguan perkembangan, semakin cepat dapat dilakukan intervensi berupa stimulasi. Orangtua harus mulai waspada bila :
1.      Pada usia 6 bulan, bayi tidak melirik atau menoleh pada sumber suara yang datang dari belakang atau sampingnya
2.      Pada usia 10 bulan, bayi tidak merespons bila dipanggil namanya
3.      Pada usia 15 bulan, anak tidak mengerti atau merespons terhadap kata "tidak" atau "jangan"
4.      Pada usia 21 bulan, anak tidak merespons terhadap perintah : duduk, kesini, atau berdiri
5.      Pada usia 24 bulan, anak tidak dapat menunjuk dan menyebutkan bagian tubuh seperti mulut, hidung, mata atau kuping.


BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A.    Pengkajian
Fokus pengkajian pada anak 2 – 3 tahun yang mengalami gangguan bicara :

1.      Data Subyektif :
a.       Pada anak yang mengalami gangguan bahasa :
1)      Umur berapa anak saudara mulai mengucapkan satu kata ?
2)      Umur berapa anak saudara mulai bisa menggunakan kata dalam suatu kalimat ?
3)      Apakah anak anda mengalami kesulitan dalam mempelajari kata baru ?
4)      Apakah anak anda sering menghilangkan kata-kata dalam kalimat yang diucapkan dalam kalimat yang diucapkan ?
5)      Siapa yang mengasuh di rumah ?
6)      Bahasa apa yang digunakan bila berkomunikasi di rumah ?
7)      Apakah pernah diajak mengucapkan kata-kata.
8)      Apakah anak anda mengalami kesulitan dalam menyusun kata-kata ?

b.      Pada anak yang mengalami gangguan bicara :
1)      Apakah anak anda sering gugup dalam mengulang suatu kata?
2)      Apakah anak anda sering merasa cemas atau bingung jika ingin mengungkapkan suatu ide?
3)      Apakah anda pernah perhatikan anak anda memejamkan mata, menggoyangkan kepala, atau mengulang suatu frase jika diberikan kata-kata baru yang sulit diucapkan?
4)      Apa yang anda lakukan jika hal di atas ditemukan?
5)      Apakah anak anda pernah/sering menghilangkan bunyi dari suatu kata?
6)      Apakah anak anda sering menggunakan kata-kata yang salah tetapi mempunyai bunyi yang hampir sama dngan suatu kata?
7)      Apakah anda kesulitan dalam mengerti kata-kata anak anda?
8)      Apakah orang lain merasa kesulitan dalam mengerti kata-kata anak anda?
9)      Perhatikan riwayat penyakit yang berhubungan dengan gangguan fungsi SSP seperti infeksi antenatal (Rubbela syndrome), perinatal (trauma persalinan), post natal (infeksi otak, trauma kepala, tumor intra kranial, konduksi elektrik otak).

2.      Data Obyektif :
a.       Kemampuan menggunakan kata-kata.
b.      Masalah khusus dalam berbahasa seperti (menirukan, gagap, hambatan bahasa, malas bicara).
c.       Kemampuan dalam mengaplikasikan bahasa.
d.      Umur anak.
e.       Kemampuan membuat kalimat.
f.       Kemampuan mempertahankan kontak mata.
g.      Kehilangan pendengaran (Kerusakan indra pendengaran).
h.      Gangguan bentuk dan fungsi artikulasi.
i.        Gangguan fungsi neurologis.

B.     Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada anak yang mengalami gangguan bicara meliputi :
1.         Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kurangnya stimulasi bahasa.
2.         Gangguan komunikasi berhubungan dengan kerusakan fungsi alat-alat artikulasi.
3.         Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan pendengaran.
4.         Gangguan komunikasi berhubungan dengan hambatan bahasa.
5.         Kecemasan orang tua berhubungan dengan ketidakmampuan anak berkomunikasi.
6.         Gangguan komunikasi berhubungan dengan kecemasan.
7.         Gangguan komunikasi berhubungan dengan kurangnya kemampuan memori dan kerusakan sistem saraf pusat.


C.    Rencana Keperawatan
Diagnose Keperawatan
Intervensi
Rasional
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kurangnya stimulasi bahasa

-            Lakukan latihan komunikasi dengan  memperhatikan perkembangan mental anak

-            Lakukan komunikasi secara komprehensif baik verbal maupun non verbal.


-            Berbicara sambil bermain dengan alat untuk mempercepat persepsi anak tentang suatu hal.

-            Berikan lebih banyak kata meskipun anak belum mampu mengucapkan dengan benar.

-            Lakukan sekrening lanjutan dengan mengggunakan Denver Speech Test.

-            Latihan bicara yang sesuai dengan perkembangan anak akan menghindari ekploatasi yang berakibat penekanan fungsi mental anak.
-            Komunikasi yang komprehensif akan memperbanyak jumlah stimulasi yang diterima anak sehingga akan memperkuat memori anak terhadap suatu kata.
-            Bermain akan menigkatkan daya tarik anak sehingga frekwensi dan durasi latihan bisa lebih lama.
-            Anak lebih suka mendengarkan kata-akat dari pada mengucapkan karena biasanya kesulitan dalam mengucapkan.
-            Untuk mengetahui jenis dan beratnya gangguan serta keterlambatan  dalam berbicara pada anak.

Gangguan komunikasi berhubungan dengan kerusakan fungsi alat-alat artikulasi

-            Stimulasi bahasa dan latihn bicara tetap dilakukan sesuai dengan perkembangan mentak anak.

-            Kolaborasi: dengan ahli bedah untuk perbaikan alat-alat artikulasi.

-            Untuk mengindari  keter-lambatan perkembangan mental, bahasa maupun bicara  ketika alat artikulasi sudah bisa  diperbaiki.
-            Perbaikan alat-alat artikulasi hanya bisa dilakukan secara optimal dengan pembedahan.

Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan pendengaran






Gangguan komunikasi berhubungan dengan hambatan bahasa

-            Lakukan latihan komunikasi, dan stimulasi dini dengan benda-benda atau dengan menggunakan bahasa isyarat serta biasakan anak melihat artikulasi  orang tua dalam berbicara.
-            Perhatikan kebersihan telinga anak


-            Kolaborasi  dengan rehabilitasi untuk penggunaan alat bantu dengar.
-            Gunakan bahasa yang sederhana dan umum digunakan dalam komunikasi sehar-hari.

-            Gunakan verifikasi bahasa sesuai dengan tingkat kematangan dan pengetahuan anak.
-            Agar stimulasi tetap diterima anak sesuai dengan perlembangan mental anak yang didasarkan atas kemampuan penerimaan anak terhadap informasi yang diberikan
-            Ganguan pendengaran sering disebabkan oleh adanya hambatan pendengaran akibat adanya kotoran ditelinga.
-            Alat bantu dengar diharapkan mampu mengatasi hambatan pendengaran pada telinga anak.
-            Untuk memudahkan pemahaman  menghindari stress dan kebingungan anak yang akibat bahasa yang berubah-ubah.
-            Difersifikasi bahasa dapat diberikan jika kemampuan mental anak sudah matang seperti setelah  umur 9 tahun, karena perkembangan selsel otak anak sudah mulai maksimal.
Kecemasan orang tua berhubungan dengan ketidakmampuan anak berbicara

-            Gali kebiasaan komunikasi dan stimulasi orang tua terhadap anak.


-            Berikan penjelasan tentang kondisi anaknya secara jelas, serta kemungkinan penanganan lanjutan, prognose serta lamanya tindakan atau pengobatan.

-            Untuk dapat menggali efektivitas dan kemampuan serta usaha yang telah dilakukan oleh orang tua,  untuk mengindari overlaping tindakan yang berakibat orang tua menjadi bosan.
-            Pengikutsertaan keluarga terhadap perawatan anak secara langsung  akan mampu mengurangi tingat kecemasan orang tua terhadap keadaan anaknya.

Gangguan komunikasi berhubungan dengan kecemasan

-            Hindari bicara pada saat kondisi bising.

-            Lakukan komunikasi dengan posisi lawan bicara setinggi  badan anak.

-            Lakukan latihan bicara sambil bermain dengan mainan kesukaan anak.

-            Komunikasi tidak efektif sehingga anak menjadi irritabel.
-            Untuk meningkatkan pandangan mata dan efektivitas komunikasi sehingga anak merasa lebih nyaman.
-            Agar anak lebih tertarik dan tidak lekas bosan.

Gangguan komunikasi berhubungan dengan kurangnya kemampuan memori dan kerusakan sistem saraf pusat.
-            Lakukan observasi dan pemeriksaan fisik  neurologi secara mendetail.
-            Kolaborasi pemeriksaan EEG
-            Untuk mengetahui kemungkinan posisi kelainan dalam otak.
-            Untuk mengetahui kemungkinan kelainan pada SSP anak.


BAB IV
KESIMPULAN

1.      Proses terjadinya bicara ada dua, yaitu proses sensoris dan motoris.
2.      Etiologi delayed speech antara lain faktor lingkungan, emosi, masalah pendengaran, perkembangan terlambat, cacat bawaan dan kerusakan otak.
3.      Pemeriksaan penunjang pada delayed speech dapat berupa BERA, OAE, tympanometri, audiometri dan ASSR.
4.      Deteksi dini delayed speech sangat penting agar stimulasi dan intervensi dapat segera dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA
  
1.      Rudolph, Hoffman Rudolph.2006.Buku Ajar Pediatri Rudolph Vol. 1 Edisi 20. Jakarta:EGC
2.      Judarwanto, W. 2008. Keterlambatan bicara pada anak, normalkah?. Diakses dari : http://www.w ikimu.com/News/Display News.aspx?id=10328&post=1
3.      Judarwanto, W. 2009. Epidemiologi : gangguan bicara pada anak. Diakses dari : http://speechclinic.wordpress.com/2009/06/28/epidemiologi gangguan-bicara-pada-anak/
4.      Judarwanto, W. 2009. Proses mekanisme bicara dan bahasa : proses fisiologi bicara. Diakses dari :  http://speechclinic.wordpress.com/2009/06/28/proses-mekanisme-bicaradan-bahasa-proses-fisiologi-bicara/
5.      Judarwanto, W. 2006. Keterlambatan bicara, berbahaya atau tidak berbahaya. Diakses dari : http://www.keterlambatan-bicara.blogspot.com/
6.      Audiyanti. 2008. Sharing mengenai tes pendengaran. Diakses dari : http://audiyanti.multiply.com/journal/item/28/Sharing_Mengenai_Tes_Pendengaran
7.      Kartika, H. 2007. Audiometri dasar. Diakses dari : http://hennykartika.wordpress.com/2007/03/11/audiometri-dasar/
8.      Judarwanto, W. 2009. Penyebab gangguan bicara dan bahasa. Diakses dari : http://speechclinic.wordpress.com/2009/06/28/penyebab-gangguan-bicaradan-bahasa-2/
9.      Anonim. 2009. Audiometri nada murni dan audiometri tutur. Diakses dari : http://www.alatbantudengar.com/ask-hearing-specialist.php
10.  Partiwi, A. 2005. Pentingnya deteksi dini keterlambatan bicara pada bayi dan anak. Diakses dari http://rafikamilani.multiply.com/journal/item/7